Selasa, 18 September 2012

RUU Jaminan Produk Halal

<!--[if !mso]> <![endif]-->
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang[1]
Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang dijamin kehalalannya cukup tinggi. Untuk itu, pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi masyarakat akan konsumsi makanan halal.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) memberikan dasar-dasar konstitusional bagi seluruh warga negara Indonesia dalam menjalani kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi. Dalam menjalankan hubungan manusia dengan manusia, setiap orang pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh dengan Tuhan-Nya sebagaimana dijumpai secara maknawi dalam norma filosofis negara, Pancasila.
Setiap warga negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia.
Pemerintah pun telah mengatur mengenai hal ini dalam aturan yang telah berlaku, yakni UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pada pasal 30 ayat 1 UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
Pada ayat 2 disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai :
1)      Nama produk
2)      Daftar bahan yang digunakan
3)      Berat bersih atau isi bersih
4)      Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia
5)      Keterangan tentang halal
6)      Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa
1.2     Permasalahan

Masalah-masalah yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah:
1.      Mengapa RUU JPH di Buat?
Argumen dalam Naskah akademik.
2.      Apa substansi yang diatur?
3.      Bagaimana Implikasi Pengaturan tersebut?
I.3. Tujuan Penulisan
Makalah dengan judul: “RUU Jaminan Produk Halal” (Kapita Selekta Hukum Islam di Indonesia)
I.4. Metode Pengumpulan Data
Data-data yang  penulis olah menjadi makalah ini di peroleh melalui buku-buku dan dari pencarian Google yang relevan.
I.5. Kegunan Makalah
Makalah ini dapat di gunakan sebagai penambah ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman dan mempelajari dan memahami masalah RUU JPH (Jaminan Produk Halal).
I.6.Sistematika Penulisan
BAB I Latar belakang, BAB II (1) Pandangan agama tentang Produk Halal (2) Permasalahan RUU JPH (3) RUU JPH Beri Jaminan Perlindungan Konsumen Seluruh Rakyat (4) Implikasi Pengaturannya, BAB III Penutup.
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pandangan Agama Tentang Produk Halal
Masyarakat memerlukan perlindungan dari pemerintah bagi semua barang yang di makan dan di minum terutama hasil produksi makanan dan minuman yang selama ini dilakukan, halal menurut ajaran Islam. Beberapa ayat dan Hadis antara lain:
(#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ šcqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ 
“dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”. (Al-Maaidah:88)
(#qè=ä3sù $£JÏB ãNà6s%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ (#rãà6ô©$#ur |MyJ÷èÏR «!$# bÎ) óOçFZä. çn$­ƒÎ) tbrßç7÷ès? ÇÊÊÍÈ
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. (An-Nahl:114)
ان لله طيب لا يقبل الا طيب (رواه مسلم )
“sesungguhnya ALLAH itu baik dan Dia hanya menerima hal-hal yang baik saja”. (H.R.Muslim)
            Oleh karena itu pemerintah bersama dengan ulama atau pemuka agama islam berkewajiban untuk melakukan pengawasan untuk dari hal-hal yang dapat mempengaruhi kehalalan dari bahan pokok, bahan tambahan, proses produksi dan pengedaran pemakanan dan minuman.[2]


2.      Permasalahan RUU JPH[3]
Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal dan keluarnya SK Menteri Agama ternyata menimbulkan permasalahan dan pertentangan yang terjadi di masyarakat.
Alasannya, RUU ini mengandung tujuan yang menyimpang dengan apa yang disuratkan dalam tujuan RUU tersebut. RUU ini dinilai kurang efisien, baik dari segi pelaksanaan, maupun dari segi efektivitas biaya yang timbul.
Sebab, biaya yang timbul atas stiker halal yang diatur dalam RUU ini akan ditanggung oleh pelaku usaha. Dalam peraturannya penerbitan stiker halal ini melalui Departemen Agama.
Dalam pasal 59 draft RUU yang masih mencantumkan biaya labelisasi. Pasal 59 ini selengkapnya berbunyi:
(1)   Biaya pemeriksaan produk, sertifikasi, label halal dan surveilen ditanggung oleh pelaku usaha yang mengajukan permohonan
(2)   Menteri teknis yang menangani bidang keuangan menetapkan struktur biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(3)   Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (92) ditetapkan oleh pemerintah
(4)   Biaya sebagaimana dimaksud ayat (3) disetorkan ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) fungsional.
Bandingkan dengan sertifikat halal yang melalui LP POM MUI yang juga distandarisasi atau melalui pengesahan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para pelaku usaha hanya cukup membayar biaya sertifikasi halal dan biaya pemeriksaan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut.
Namun, tidak dapat dipungkiri biaya proses sertifikasi halal untuk saat ini belum terstandarisasi dengan baik dan dipayungi hukum yang telah ada. Sehingga ada celah dalam penentuan biaya tersebut. RUU ini juga dinilai berbenturan dengan perundang-undangan yang ada, yakni UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahkan, SK Menteri Agama No 518, SK No 519 dan SK No 525 dinilai tidak mempunyai landasan hukum di atasnya yang lebih kuat. Permasalahan yang timbul seperti uraian latar belakang dan perlu diperbaiki untuk pelaksanaan jaminan produk halal di lapangan, adalah:
a.       Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal dalam pelaksanaanya di lapangan belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi umat Islam terhadap pangan dan produk lainnya seperti produk pangan yang tidak dikemas. Keadaan demikian menjadikan umat Islam menemui kesulitan dalam membedakan mana yang halal dan mana yang haram, menimbulkan keraguan lahir dan ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya.
b.      Tidak adanya kepastian hukum mengenai institusi mana di dalam sistem tata negara dalam konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi/lembaga penjamin halal terhadap pangan dan produk lainnya, sehingga tidak terdapat kepastian mengenai wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk halal.
c.       Produksi dan peredaran produk sulit dikontrol sebagai akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa genetik, iradiasi, dan bioteknologi.
d.      Adanya ketidaksingkronan produk hukum antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan peraturan di bawahnya yakni PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
e.       Sistem produk halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan pemerintah seperti halnya sistem yang dipraktikkan di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai pemalsuan label halal.
f.       SK Menteri Agama No 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal yang secara implisit menunjuk MUI sebagai badan standarisasi halal, dan SK Menteri Agama No 525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal dinilai menghambat persaingan diantara pelaku usaha karena secara teknis akan menyulitkan pelaku usaha yang akan melakukan sertifikasi halal. Sedangkan SK Menteri Agama No 519 berbenturan dengan SK No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan ‘’Halal’’ pada Label Makanan.
g.      Belum adanya standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan . Sebab, selama ini LP POM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat daerah.
h.      Belum tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan bidang keilmuanya untuk proses labelisasi makanan halal hingga ke tingkat daerah. Sehingga, terkesan proses sertifikasi makanan halal di beberapa daerah dilakukan hanya dengan kasat mata tanpa melalui uji laboratorium.
i.        Sistem informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat belum sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-produk yang halal.
Problem Krusial[4]
Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) kabarnya akan dipaksakan untuk disahkan dalam waktu dekat, bahkan kalau bisa menjadi semacam “hadiah Ramadhan”. Anggota DPR ingin “kejar setoran”.
Beberapa ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga turut mendorong agar RUU ini segera disahkan. RUU ini sendiri relatif tidak mendapat perhatian dari masyarakat sehingga tidak menjadi perdebatan publik yang mencerdaskan. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) diberitakan menolak RUU ini meskipun dengan alasan yang berbeda.
Kadin menolak karena RUU ini akan memicu ekonomi biaya tinggi.Adapun MUI menolak karena kepentingannya untuk menjadi pemegang otoritas tunggal sertifikasi halal tidak diakomodasi dalam RUU JPH. Apakah secara substansial materi dari RUU ini memang sudah layak untuk disahkan? Penulis cenderung berpendapat belum saatnya, bukan saja karena RUU ini belum menjadi pembahasan publik, tapi secara substansial masih compang-camping. DPR tentu tidak mau, RUU yang disahkan terus-menerus menjadi olok-olokan publik karena ketidakmatangan dalam membuat UU karena hanya mempertimbangkan kepentingan-kepentingan jangka pendek. Pertanyaan besar yang pertama muncul adalah apakah RUU JPH memang diperlukan mengingat Indonesia sudah mempunyai sejumlah regulasi menyangkut hal ini seperti UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 7/1996 tentang Pangan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam naskah akademis itu dirumuskan lima dasar yang menjadi landasan mengapa RUU JPH dianggap penting?
1.      Landasan filosofis
Dalam bagian ini, setelah mengutip pembukaan UUD 1945 dan sejumlah ayat Alquran (QS Al- Baqarah ayat 168 dan 172[5]) disebutkan bahwa halal dan haram merupakan sesuatu yang sangat prinsip dalam Islam karena di dalamnya terkait hubungan dengan Allah.
2.      Dasar sosiologis
Dalam bagian ini disebutkan,masyarakat Islam Indonesia sebagai mayoritas menyadari bahwa banyak produk yang diragukan kehalalannya karena tidak adanya petunjuk yang menandakan bahwa produk itu halal dikonsumsi atau digunakan. Karena itu,umat Islam mempunyai hak konstitusional memperoleh perlindungan hukum untuk mendapatkan produk sesuai dengan syariat Islam.
3.      Dasar yuridis.
Terkait dengan dasar yuridis ini, dalam naskah akademis disebutkan, hingga kini belum ada perlindungan yuridis yang maksimal untuk melindungi umat Islam hidup sehat dan tidak terjebak dengan produk yang tidak halal.
4.      Dasar psikopolitik
Masyarakat menyangkut penerimaan dan penolakan suatu RUU. Dalam kaitan ini disebutkan perlunya pelibatan dunia usaha agar mereka tidak menjadi kekuatan yang justru menolak RUU JPH karena beranggapan sistem jaminan halal akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
5.      Dasar ekonomi
Hal ini terkait dengan perdagangan internasional di mana negara-negara maju pada umumnya sudah memiliki tanda arah (direction sign) bagi konsumen untuk mendapatkan makanan halal. Dengan demikian, jaminan produk halal sudah menjadi hal yang lumrah dalam tata niaga internasional.

3.      RUU JPH (Jaminan Produk Halal) Beri Jaminan Perlindungan Konsumen Seluruh Rakyat
RUU tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) resmi di bahas di DPR RI. Dengan di bahasnya RUU JPH ini nantinya rakyat Indonesia dapat segera memperoleh jaminan kehalalan atas produk yang dikonsumsi secara lebih baik.
Menurut Anggota Komisi VIII DPR RI, Jazuli Jawaini, dalam pesan tertulisnya kepada detikcom, terwujudnya pembahasan RUU JPH harus menjadi momentum untuk lebih memperkuat jaminan negara atas berbagai produk yang dikonsumsi masyarakat. Hal ini penting agar produk makanan terjamin kehalalan dan kesehatannya. Dia menegaskan RUU ini tidak diskriminatif.
Jaminan ini khususnya ditujukan kepada umat Islam yang menjadi umat mayoritas di negeri ini, sehingga merasa tenang, aman, dan nyaman dalam mengkonsumsi produk-produk yang beredar di pasaran.
"Ini adalah bentuk jaminan dalam kerangka perlindungan konsumen. Bahwa umat Islam mayoritas itu adalah realitas, dan negara tentu saja berkewajiban untuk melindungi warga negara mayoritas ini dalam mengkonsumsi produk-produk yang halal sebagaimana syariat Islam mengaturnya," ungkap Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi ini, Kamis (8/3/2012).
 Jazuli menambahkan UU JPH nantinya tidak hanya dirasakan oleh umat Islam tetapi juga bagi masyarakat secara umum. Karena makna halal sesungguhnya lebih luas menjamin kebaikan dan kesehatan dari suatu produk.
"Oleh karena itu, kami di Komisi VIII optimistis bahwa undang-undang ini tidak hanya ditujukan kepada umat Islam," katanya.
Jazuli menerangkan jaminan produk halal sebenarnya sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 1988 dan dijalankan secara baik oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan MUI telah mendapatkan kepercayaan yang luas dari dunia internasional dalam pembentukan sistem dan standar penjaminan produk halal sehingga menjadi acuan atau referensi bagi negara-negara lain.

Pembahasan RUU JPH dilakukan Komisi VIII DPR RI melalui Rapat Kerja dengan DPD RI, Menteri Agama, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Pemdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Hukum dan HAM.[6]
4.      Implikasi Pengaturannya
Sebenarnya Implikasi yang terjadi dikalangan masyarakat ini sangatlah memberatkan masyarakat terutama pengusaha-pengusaha kalangan bawah karena biaya sertifikasi ini mahal serta mutlak ditanggung oleh pengusaha. Mereka akan merasa dipersulit untuk memproses sertifikat lebel halal. Bukan hanya itu, adanya RUU JPH ini akan terjadi diskriminatif terhadap masyarakat non muslim karna adanya RUU JPH ini aturannya mengikat untuk seluruh masyarakat serta RUU JPH juga berbenturan dengan UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam naskah akademis itu dirumuskan lima dasar yang menjadi landasan mengapa RUU JPH dianggap penting, yaitu:
1.      Landasan filosofis
2.      Dasar sosiologis
3.      Dasar yuridis.
4.      Dasar psikopolitik
5.      Dasar ekonomi
Tetapi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal serta keluarnya SK Menteri Agama ternyata menimbulkan permasalahan dan pertentangan yang terjadi di masyarakat, karena RUU JPH ini sangat memberatkan masyarakat yang mata pencariannya sebagai pedagang, mereka harus membuat sertifikat produk halal secara rutin setiap tahunnya, sedangkan biayanya mahal dan juga dengan adanya RUU JPH ini otomatis bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 yang didalamnya “untuk melindungi segenap bangsa serta seluruh tumpah darah” disini yang dilindungi hanya satu golongan saja.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan, untuk mengetahui lebih dalam lagi setidaknya banyak-banklah berdiskusi di dalam atau di luar kampus. semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua. Amin…



DAFTAR PUSTAKA
kurniawan aries , RUU Jaminan Produk Halal dan Perubahan
Rumadi, Problem Krusial Jaminan Produk Halal, (Harian Seputar Indonesia)
Departemen agama RI, Petunjuk teknis pedoman system produksi halal (Jakarta: Ikhlas beramal, 2003), h. 1 dan 2
Arbi Anugrah / detik.com




[1]aries kurniawan, RUU Jaminan Produk Halal dan Perubahan
[2]Departemen agama RI, Petunjukteknispedoman system produksi halal (Jakarta: Iklasberamal, 2003), h. 1 dan 2
[3]aries kurniawan, RUU Jaminan Produk Halal dan Perubahan
[4] Rumadi, Problem Krusial Jaminan Produk Halal, (Harian Seputar Indonesia)
[5] Al-Baqarah ayat 168: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Al-Baqarah Ayat 172: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.
                                                                                                                                          
[6]Arbi Anugrah / detik.com