BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang[1]
Kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi makanan atau minuman yang dijamin kehalalannya
cukup tinggi. Untuk itu, pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi
masyarakat akan konsumsi makanan halal.
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) memberikan dasar-dasar
konstitusional bagi seluruh warga negara Indonesia dalam menjalani kehidupan,
baik duniawi maupun ukhrowi. Dalam menjalankan hubungan manusia dengan manusia,
setiap orang pada saat yang bersamaan tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh
dengan Tuhan-Nya sebagaimana dijumpai secara maknawi dalam norma filosofis
negara, Pancasila.
Setiap warga
negara Republik Indonesia dijamin hak konstitusional oleh UUD 1945 seperti hak
asasi manusia, hak beragama dan beribadat, hak mendapat perlindungan hukum dan
persamaan hak dan kedudukan dalam hukum, serta hak untuk memperoleh kehidupan
yang layak termasuk hak untuk mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk
lainnya yang dapat menjamin kualitas hidup dan kehidupan manusia.
Pemerintah pun
telah mengatur mengenai hal ini dalam aturan yang telah berlaku, yakni UU No 7
Tahun 1996 tentang Pangan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan dan UU No 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Pada pasal 30 ayat 1 UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
Pada ayat 2 disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai :
Pada pasal 30 ayat 1 UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
Pada ayat 2 disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai :
1) Nama produk
2) Daftar bahan yang digunakan
3) Berat bersih atau isi bersih
4) Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia
5) Keterangan tentang halal
6) Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa
1.2 Permasalahan
Masalah-masalah yang akan penulis bahas dalam
makalah ini adalah:
1.
Mengapa RUU JPH di Buat?
Argumen dalam Naskah akademik.
2.
Apa substansi yang diatur?
3.
Bagaimana Implikasi Pengaturan tersebut?
I.3. Tujuan Penulisan
Makalah dengan judul: “RUU Jaminan Produk
Halal” (Kapita Selekta Hukum Islam di Indonesia)
I.4. Metode
Pengumpulan Data
Data-data yang
penulis olah menjadi makalah ini di peroleh melalui buku-buku dan dari
pencarian Google yang relevan.
I.5. Kegunan Makalah
Makalah ini dapat di gunakan sebagai penambah
ilmu pengetahuan dan sebagai pedoman dan mempelajari dan memahami masalah RUU
JPH (Jaminan Produk Halal).
I.6.Sistematika Penulisan
BAB I Latar belakang, BAB II (1) Pandangan
agama tentang Produk Halal (2) Permasalahan RUU JPH (3) RUU JPH Beri Jaminan
Perlindungan Konsumen Seluruh Rakyat (4) Implikasi Pengaturannya, BAB III
Penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pandangan Agama Tentang Produk Halal
Masyarakat memerlukan perlindungan dari
pemerintah bagi semua barang yang di makan dan di minum terutama hasil produksi
makanan dan minuman yang selama ini dilakukan, halal menurut ajaran Islam.
Beberapa ayat dan Hadis antara lain:
(#qè=ä.ur $£JÏB ãNä3x%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# OçFRr& ¾ÏmÎ/ cqãZÏB÷sãB ÇÑÑÈ
“dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
(Al-Maaidah:88)
(#qè=ä3sù $£JÏB ãNà6s%yu ª!$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ (#rãà6ô©$#ur |MyJ÷èÏR «!$# bÎ) óOçFZä. çn$Î) tbrßç7÷ès? ÇÊÊÍÈ
“Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”. (An-Nahl:114)
ان لله طيب لا
يقبل الا طيب (رواه مسلم )
“sesungguhnya
ALLAH itu baik dan Dia hanya menerima hal-hal yang baik saja”. (H.R.Muslim)
Oleh karena itu pemerintah bersama
dengan ulama atau pemuka agama islam berkewajiban untuk melakukan pengawasan
untuk dari hal-hal yang dapat mempengaruhi kehalalan dari bahan pokok, bahan
tambahan, proses produksi dan pengedaran pemakanan dan minuman.[2]
2. Permasalahan RUU JPH[3]
Munculnya
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal dan keluarnya SK
Menteri Agama ternyata menimbulkan permasalahan dan pertentangan yang
terjadi di masyarakat.
Alasannya, RUU
ini mengandung tujuan yang menyimpang dengan apa yang disuratkan dalam tujuan
RUU tersebut. RUU ini dinilai kurang efisien, baik dari segi pelaksanaan,
maupun dari segi efektivitas biaya yang timbul.
Sebab, biaya
yang timbul atas stiker halal yang diatur dalam RUU ini akan ditanggung oleh
pelaku usaha. Dalam peraturannya penerbitan stiker halal ini melalui Departemen
Agama.
Dalam pasal 59 draft RUU yang masih mencantumkan biaya labelisasi. Pasal 59 ini selengkapnya berbunyi:
Dalam pasal 59 draft RUU yang masih mencantumkan biaya labelisasi. Pasal 59 ini selengkapnya berbunyi:
(1)
Biaya
pemeriksaan produk, sertifikasi, label halal dan surveilen ditanggung oleh
pelaku usaha yang mengajukan permohonan
(2)
Menteri teknis
yang menangani bidang keuangan menetapkan struktur biaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
(3)
Biaya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (92) ditetapkan oleh pemerintah
(4)
Biaya
sebagaimana dimaksud ayat (3) disetorkan ke Kas Negara sebagai Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) fungsional.
Bandingkan
dengan sertifikat halal yang melalui LP POM MUI yang juga distandarisasi atau
melalui pengesahan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para pelaku usaha hanya
cukup membayar biaya sertifikasi halal dan biaya pemeriksaan untuk mendapatkan
sertifikasi tersebut.
Namun, tidak dapat dipungkiri biaya proses sertifikasi halal untuk saat ini belum terstandarisasi dengan baik dan dipayungi hukum yang telah ada. Sehingga ada celah dalam penentuan biaya tersebut. RUU ini juga dinilai berbenturan dengan perundang-undangan yang ada, yakni UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahkan, SK Menteri Agama No 518, SK No 519 dan SK No 525 dinilai tidak mempunyai landasan hukum di atasnya yang lebih kuat. Permasalahan yang timbul seperti uraian latar belakang dan perlu diperbaiki untuk pelaksanaan jaminan produk halal di lapangan, adalah:
Namun, tidak dapat dipungkiri biaya proses sertifikasi halal untuk saat ini belum terstandarisasi dengan baik dan dipayungi hukum yang telah ada. Sehingga ada celah dalam penentuan biaya tersebut. RUU ini juga dinilai berbenturan dengan perundang-undangan yang ada, yakni UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahkan, SK Menteri Agama No 518, SK No 519 dan SK No 525 dinilai tidak mempunyai landasan hukum di atasnya yang lebih kuat. Permasalahan yang timbul seperti uraian latar belakang dan perlu diperbaiki untuk pelaksanaan jaminan produk halal di lapangan, adalah:
a.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal dalam
pelaksanaanya di lapangan belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum
bagi umat Islam terhadap pangan dan produk lainnya seperti produk pangan yang
tidak dikemas. Keadaan demikian menjadikan umat Islam menemui kesulitan dalam
membedakan mana yang halal dan mana yang haram, menimbulkan keraguan lahir dan
ketidaktentraman batin dalam mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk
lainnya.
b.
Tidak adanya
kepastian hukum mengenai institusi mana di dalam sistem tata negara dalam
konstruksi pemerintahan negara sebagai institusi/lembaga penjamin halal
terhadap pangan dan produk lainnya, sehingga tidak terdapat kepastian mengenai
wewenang, tugas, dan fungsi mengenai atau dalam kaitannya dengan jaminan produk
halal.
c.
Produksi dan
peredaran produk sulit dikontrol sebagai akibat meningkatnya teknologi pangan,
rekayasa genetik, iradiasi, dan bioteknologi.
d.
Adanya
ketidaksingkronan produk hukum antara UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan dengan
peraturan di bawahnya yakni PP No 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
e.
Sistem produk
halal Indonesia belum memiliki standar dan label halal resmi (standar halal
nasional) yang ditetapkan pemerintah seperti halnya sistem yang dipraktikkan di
Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Akibatnya, pelaku usaha menetapkan
label sendiri sesuai selera masing-masing sehingga terjadilah berbagai
pemalsuan label halal.
f.
SK Menteri
Agama No 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal yang secara
implisit menunjuk MUI sebagai badan standarisasi halal, dan SK Menteri Agama No
525 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal dinilai
menghambat persaingan diantara pelaku usaha karena secara teknis akan
menyulitkan pelaku usaha yang akan melakukan sertifikasi halal. Sedangkan SK
Menteri Agama No 519 berbenturan dengan SK No 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang
perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pecantuman Tulisan ‘’Halal’’ pada Label Makanan.
g.
Belum adanya
standarisasi biaya untuk sertifikasi halal pada makanan secara transparan .
Sebab, selama ini LP POM MUI belum memiliki landasan yuridis guna penentuan
biaya terutama untuk pengurusan sertifikasi makanan halal di daerah. Jika ini
dikelola dengan baik tentunya pemerintah dapat memenuhi kebutuhan operasional
dan fasilitas laboratorium hingga di tingkat daerah.
h.
Belum
tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan bidang keilmuanya
untuk proses labelisasi makanan halal hingga ke tingkat daerah. Sehingga,
terkesan proses sertifikasi makanan halal di beberapa daerah dilakukan hanya
dengan kasat mata tanpa melalui uji laboratorium.
i.
Sistem
informasi produk halal yang memadai sebagai pedoman pelaku usaha dan masyarakat
belum sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang produk-produk yang
halal.
Problem Krusial[4]
Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk
Halal (RUU JPH) kabarnya akan dipaksakan untuk disahkan dalam waktu dekat,
bahkan kalau bisa menjadi semacam “hadiah Ramadhan”. Anggota DPR ingin “kejar
setoran”.
Beberapa ormas besar seperti Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga turut mendorong agar RUU ini segera disahkan.
RUU ini sendiri relatif tidak mendapat perhatian dari masyarakat sehingga tidak
menjadi perdebatan publik yang mencerdaskan. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) diberitakan menolak RUU ini meskipun dengan
alasan yang berbeda.
Kadin menolak karena RUU ini akan memicu ekonomi biaya
tinggi.Adapun MUI menolak karena kepentingannya untuk menjadi pemegang otoritas
tunggal sertifikasi halal tidak diakomodasi dalam RUU JPH. Apakah secara
substansial materi dari RUU ini memang sudah layak untuk disahkan? Penulis
cenderung berpendapat belum saatnya, bukan saja karena RUU ini belum menjadi
pembahasan publik, tapi secara substansial masih compang-camping. DPR tentu
tidak mau, RUU yang disahkan terus-menerus menjadi olok-olokan publik karena
ketidakmatangan dalam membuat UU karena hanya mempertimbangkan kepentingan-kepentingan
jangka pendek. Pertanyaan besar yang pertama muncul adalah apakah RUU JPH
memang diperlukan mengingat Indonesia sudah mempunyai sejumlah regulasi
menyangkut hal ini seperti UU No 23/1992 tentang Kesehatan, UU No 7/1996
tentang Pangan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam naskah
akademis itu dirumuskan lima dasar yang menjadi landasan mengapa RUU JPH
dianggap penting?
1.
Landasan
filosofis
Dalam bagian
ini, setelah mengutip pembukaan UUD 1945 dan sejumlah ayat Alquran (QS Al-
Baqarah ayat 168 dan 172[5])
disebutkan bahwa halal dan haram merupakan sesuatu yang sangat prinsip dalam
Islam karena di dalamnya terkait hubungan dengan Allah.
2.
Dasar
sosiologis
Dalam bagian
ini disebutkan,masyarakat Islam Indonesia sebagai mayoritas menyadari bahwa
banyak produk yang diragukan kehalalannya karena tidak adanya petunjuk yang
menandakan bahwa produk itu halal dikonsumsi atau digunakan. Karena itu,umat
Islam mempunyai hak konstitusional memperoleh perlindungan hukum untuk
mendapatkan produk sesuai dengan syariat Islam.
3.
Dasar yuridis.
Terkait dengan
dasar yuridis ini, dalam naskah akademis disebutkan, hingga kini belum ada
perlindungan yuridis yang maksimal untuk melindungi umat Islam hidup sehat dan
tidak terjebak dengan produk yang tidak halal.
4.
Dasar
psikopolitik
Masyarakat
menyangkut penerimaan dan penolakan suatu RUU. Dalam kaitan ini disebutkan
perlunya pelibatan dunia usaha agar mereka tidak menjadi kekuatan yang justru
menolak RUU JPH karena beranggapan sistem jaminan halal akan menimbulkan
ekonomi biaya tinggi.
5.
Dasar ekonomi
Hal ini terkait
dengan perdagangan internasional di mana negara-negara maju pada umumnya sudah
memiliki tanda arah (direction sign) bagi konsumen untuk mendapatkan makanan
halal. Dengan demikian, jaminan produk halal sudah menjadi hal yang lumrah
dalam tata niaga internasional.
3. RUU JPH (Jaminan Produk Halal) Beri Jaminan Perlindungan Konsumen Seluruh
Rakyat
RUU tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH)
resmi di bahas di DPR RI. Dengan di bahasnya RUU JPH ini nantinya rakyat
Indonesia dapat segera memperoleh jaminan kehalalan atas produk yang dikonsumsi
secara lebih baik.
Menurut Anggota Komisi VIII DPR RI, Jazuli
Jawaini, dalam pesan tertulisnya kepada detikcom, terwujudnya pembahasan RUU
JPH harus menjadi momentum untuk lebih memperkuat jaminan negara atas berbagai
produk yang dikonsumsi masyarakat. Hal ini penting agar produk makanan terjamin
kehalalan dan kesehatannya. Dia menegaskan RUU ini tidak diskriminatif.
Jaminan ini khususnya ditujukan kepada umat Islam yang menjadi umat mayoritas di negeri ini, sehingga merasa tenang, aman, dan nyaman dalam mengkonsumsi produk-produk yang beredar di pasaran.
Jaminan ini khususnya ditujukan kepada umat Islam yang menjadi umat mayoritas di negeri ini, sehingga merasa tenang, aman, dan nyaman dalam mengkonsumsi produk-produk yang beredar di pasaran.
"Ini adalah bentuk jaminan dalam
kerangka perlindungan konsumen. Bahwa umat Islam mayoritas itu adalah realitas,
dan negara tentu saja berkewajiban untuk melindungi warga negara mayoritas ini
dalam mengkonsumsi produk-produk yang halal sebagaimana syariat Islam
mengaturnya," ungkap Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi ini, Kamis
(8/3/2012).
Jazuli
menambahkan UU JPH nantinya tidak hanya dirasakan oleh umat Islam tetapi juga
bagi masyarakat secara umum. Karena makna halal sesungguhnya lebih luas
menjamin kebaikan dan kesehatan dari suatu produk.
"Oleh karena itu, kami di Komisi VIII
optimistis bahwa undang-undang ini tidak hanya ditujukan kepada umat
Islam," katanya.
Jazuli menerangkan jaminan produk halal
sebenarnya sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 1988 dan dijalankan secara
baik oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan MUI telah mendapatkan
kepercayaan yang luas dari dunia internasional dalam pembentukan sistem dan
standar penjaminan produk halal sehingga menjadi acuan atau referensi bagi
negara-negara lain.
Pembahasan RUU JPH dilakukan Komisi VIII DPR RI melalui Rapat Kerja dengan DPD RI, Menteri Agama, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Pemdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Hukum dan HAM.[6]
Pembahasan RUU JPH dilakukan Komisi VIII DPR RI melalui Rapat Kerja dengan DPD RI, Menteri Agama, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri Pemdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Hukum dan HAM.[6]
4. Implikasi Pengaturannya
Sebenarnya Implikasi yang terjadi dikalangan
masyarakat ini sangatlah memberatkan masyarakat terutama pengusaha-pengusaha
kalangan bawah karena biaya sertifikasi ini mahal serta mutlak ditanggung oleh
pengusaha. Mereka akan merasa dipersulit untuk memproses sertifikat lebel
halal. Bukan hanya itu, adanya RUU JPH ini akan terjadi diskriminatif terhadap
masyarakat non muslim karna adanya RUU JPH ini aturannya mengikat untuk seluruh
masyarakat serta RUU JPH juga berbenturan dengan UU No 7 tahun
1996 tentang Pangan dan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam naskah
akademis itu dirumuskan lima dasar yang menjadi landasan mengapa RUU JPH
dianggap penting, yaitu:
1.
Landasan
filosofis
2.
Dasar
sosiologis
3.
Dasar yuridis.
4.
Dasar
psikopolitik
5.
Dasar ekonomi
Tetapi Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Jaminan Produk Halal serta keluarnya SK Menteri
Agama ternyata menimbulkan permasalahan dan pertentangan yang terjadi di
masyarakat, karena RUU JPH ini sangat memberatkan masyarakat yang mata
pencariannya sebagai pedagang, mereka harus membuat sertifikat produk halal
secara rutin setiap tahunnya, sedangkan biayanya mahal dan juga dengan adanya
RUU JPH ini otomatis bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 yang didalamnya
“untuk melindungi segenap bangsa serta seluruh tumpah darah” disini yang
dilindungi hanya satu golongan saja.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun dan
kami sangat menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan, untuk
mengetahui lebih dalam lagi setidaknya banyak-banklah berdiskusi di dalam atau
di luar kampus. semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat
bagi kita semua. Amin…
DAFTAR PUSTAKA
kurniawan aries , RUU
Jaminan Produk Halal dan Perubahan
Rumadi, Problem Krusial Jaminan Produk Halal, (Harian Seputar Indonesia)
Departemen agama RI, Petunjuk teknis pedoman system produksi halal
(Jakarta: Ikhlas beramal, 2003), h. 1 dan 2
Arbi Anugrah / detik.com
[1]aries kurniawan,
RUU Jaminan Produk Halal dan Perubahan
[2]Departemen
agama RI, Petunjukteknispedoman system produksi halal (Jakarta: Iklasberamal,
2003), h. 1 dan 2
[3]aries kurniawan,
RUU Jaminan Produk Halal dan Perubahan
[4] Rumadi, Problem Krusial Jaminan Produk Halal, (Harian
Seputar Indonesia)
[5] Al-Baqarah ayat 168: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Al-Baqarah Ayat 172: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.