1. Latar
Belakang
Dalam pembukaan UUD 1945 tersirat suatu makna,
bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 agustus 1945
adalah Negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) dalam arti Negara
pengurus (Verzorgingsstaat).
Pengembangan
ilmu di bidang perundang-undangan dapat mendorong fungsi pembentukan peraturan
perundang-undangan yang sangat diperlukan kehadirannya, oleh karena Negara yang
berdasarkan hukum modern tujuan utamanya dari pembentukan perundang-undangan
bukan lagi menciptakan kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan
yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama
perundang-undangan itu adalah menciptakan modofikasi atau perubahan dalam
kehidupan masyarakat.
Perbedaan antara kodifikasi dan modifikasi
telah nampak jelas. Peraturan perundang-undangan secara kodifikasi yaitu
penyusunan dan penetapan perundang-undang secara sistematis mengenai bidang
hukum yang agak luas dan dikumpulkan dalam suatu kitab, bentuk hukum ini
diperbaharui namun isinya diambilkan dari hukum yang sudah ada, otomatis dengan
perubahan dan perkembangan kebutuhan
masyarakat yang semakin cepat hanya akan menyebabkan hukum selalu berjalan di
belakang dan akan ketinggalan zaman. Sedangkan modifikasi adalah
peraturan perundang-undangan yang menetapkan peraturan-peraturan baru dan yang
mengubah hubungan-hubungan social.
Dalam penerapannya, baik dengan kodifikasi
maupun modifikasi terdapat berbagai keuntungan dan kerugian. Apa bila dipakai
cara kodifikasi , seseorang akan dengan mudah menemukan peraturan mengenai
suatu bidang hukum, karena terkumpul dalam suatu kitab undang-undang. Selain
itu akan mudah diterima oleh masyarakat karena di dalamnya terdapat nilai-nilai
yang telah mengendap dalam masyarakat. Kerugiannya adalah bahwa dalam
pembentukannya memerlukan waktu yang lama (dan sering ketinggalan zaman),
selain itu kodifikasi akan sulit melakukan perubahan prinsipil hukum itu.
Dalam modifikasi terdapat keuntungan, antara lain
bahwa pembentukannya tidak memakan waktu yang lama, dan hukum akan selalu
berada di depan walaupun kadang-kadang hukum yang dirumuskan kurang sesuai
dengan kehendak masyarakat.[1]
2. Pengertian
Ilmu Perundang-undangan
Ilmu pengetauhan perundang-undangan secara umum
terjemahan dari gesetzgebungswissenschaft adalah suatu cabang ilmu baru, yang
mula-mula berkembang di Eropa Barat, terutama di Negara-negara yang berbahasa
Jerman. Istilah lain yang juga sering dipakai adalah Wetgevingswetenschap, atau
science of legislation.
Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu
ini antara lain adalah peter noll (1973) dengan istilah gesetzgebunglehre,
jurgen rodig (1975), dengan istilah gesetzgebunglehre, burkhardt krems (1979)
dan Werner maihofer (1981) dengan istilah gesetzgebungswissenchaft. Di belanda
antara lain S.O. van poelje (1980) dengan istilah wetgevingsleer atau
wetgevingskunde, dan W.G van der velden (1988) dengan istilah
wetgevingstheorie, sedangkan di Indonesia diajukan oleh Hamid S. Attamimi (1975)
dengan istilah ilmu pengetauhan perundang-undangan.[2]
Menurut burkhadt krems, ilmu pengetauhan
perundang-undangan adalah ilmu pengetauhan tentang pembentukan peraturan
Negara, yang merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner. Selain itu, ilmu
peraturan perundang-undangan juga berhubungan dengan ilmu politik dan
sosiologi, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu
1. Teori
perundang-undangan yaitu berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan
makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif
2. Ilmu
perundang-undangan yaitu berorientasi pada melakukan perbuatan dalam hal
pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Burkhardt krems membagi lagi bagian kedua
tersebut kedalam tiga sub bagian yaitu
1. Proses
perundang-undangan (gesetzebungverfahren)
2. Metode
perundang-undangan (gesetzebungsmethode)
3. Teknik
perundang-undangan (gesetzebungstechnic)
ILMU PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN[3]
3. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan
Fungsi
peraturan perundang-undangan, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok utama,
yaitu:
1) Fungsi Internal, adalah fungsi pengaturan
perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum perundang-undangan) terhadap
sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan
menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi
pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.
Secara
internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi:
a.
Fungsi
penciptaan hukum.
Penciptaan
hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku
umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui
putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam
kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan
sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang
berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula terbentuk
melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam
pembentukan hukum.
b.
Fungsi
pembaharuan hukum.
Peraturan
perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan hukum (law
reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau hukum
yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan
dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula direncakan. Peraturan
perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi pembaharuan terhadap peraturan
perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan dapat pula
dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau
hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara
lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan
Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan
perundang-undangan nasional (dibuat setelah kemerdekaan) yang tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang hukum kebiasaan
atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti hukum
kebiasaan atau hukum adat yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat
peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau
hukum adat sangat bermanfaat, karena dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang
disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.
c.
Fungsi
integrasi pluralisme sistem hukum
Pada
saat ini masih berlaku berbagai sistem hukum (empat macam sistem hukum), yaitu:
“sistem hukum kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama
(khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.
Pluralisme
sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial
yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut
tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum
yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam
pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan
berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang
harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya
bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara
berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat
yang bersangkutan.
d.
Fungsi
kepastian hukum
Kepastian
hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam
tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving,
uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan
perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada
hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui,
kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada
bentuknya yang tertulis (geschreven, written).
2) Fungsi Eksternal
Fungsi
Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat
berlakunya. Fungsi eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum,
yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan
demikian, fungsi ini dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat,
atau hukum yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih
diperankan oleh peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang
sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:
a) Fungsi perubahan
Telah
lama di kalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini
yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan (law as social engineering).
Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk untuk mendorong
perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat
“patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong menuju masyarakat “parental”
melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.
b) Fungsi stabilisasi
Peraturan
perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan
perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah
kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah
stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja,
pengaturan tata cara perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan
pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem
soeial budaya yang telah ada.
c) Fungsi kemudahan
Peraturan
perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai
kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan
insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan
tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan
kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan
kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam
penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas
diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan
prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.[4]
Uraian lain tentang fungsi peraturan
perundang-undangan dikemukakan oleh ahli peraturan perundang-undangan kenamaan
seperti Robert Baldwin & Martin Cave[5],
yang mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan memiliki fungsi:
a.
mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan
sumber daya;
b.
mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas
di komunitas atau lingkungannya;
c.
membuka informasi bagi publik dan mendorong
kesetaraan antar kelompok (mendorong perubahan institusi, atau affirmative
action kepada kelompok marginal);
d.
mencegah kelangkaan sumber daya publik dari
eksploitasi jangka pendek;
e.
menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya
serta keadilan sosial, perluasan akses dan redistribusi sumber daya; dan
f.
memperlancar koordinasi dan perencanaan dalam
sektor ekonomi.
Dua kutipan fungsi peraturan perundang-udangan
sebagaimana dikemuka-kan di atas, pada dasarnya menunjuk pada keberadaan fungsi
sebuah hukum atau peraturan perundang-undangan dalam sebuah negara yang
berdasarkan hukum. Sebagai negara hukum dan menganut paham konstsitusionalisme,
Indonesia jelas membutuhkan adanya berbagai pembatasan kewenangan negara dan
jaminan serta komitmen negara untuk memenuhi hak-hak warga negara, secara
tertulis. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain. Di sinilah
peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi utamanya, yakni sebagai
instrumen sekaligus kerangka arah pembangunan nasional.
Merujuk pada fungsi peraturan
perundang-undangan sesuai dengan jenis-jenisnya, UU No. 10 Tahun 2004 secara
implisit menyebutkan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a.
Fungsi UUD 1945
1.
Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan
sebagai satu fungsi konstitusionalisme.
2.
Memberikan
legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan.
3.
Sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan
dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau Raja
dalam sistem Monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara.
4.
Sebagai kepala negara simbolik.
5.
Sebagai kitab suci simbolik dari suatu
agama civil atau syari’at negara
(civil religion).
b.
Fungsi Undang-undang/ Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang
1.
Menyelenggarakan peraturan lebih lanjut
ketentuan dalam UUD 1945 yang tegas-tegas menyebutnya.
2.
Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan
dasar lainnya dalam batang tubuh UUD 1945.
3.
Pengaturan lebih lanjut materi UUD 1945.
c.
Fungsi Peraturan Pemerintah
1.
Pengaturan lebih lanjut dalam ketentuan UU yang
lebih tegas menyebutnya.
2.
Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam
UU yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
d.
Fungsi Peraturan Presiden
1.
Pengaturan lebih lanjut ketentuan UU dan untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah.
2.
Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam
rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintah.
e.
Fungsi Peraturan Daerah
1.
Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan UU,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, yang secara tegas
menyebutnya.
2.
Menyelenggarakan lebih lanjut kententuan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
f.
Fungsi Peraturan selain Peraturan
Perundang-udangan
1.
Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan peraturan perundang-undangan
yang berada pada hirarkhi di atasnya.
2.
Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam
rangka penyelenggaraan tugas-tugas dan fungsi-fungsi kelembagaan masing-masing,
yang secara tegas disebutkan atau diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang ada pada hirarkhi lebih tinggi.
2.
Asas-Asas Pembentuk Peraturan
perundang-undangan
Asas
adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan
bertindak[6].
Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang
dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata
asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam
berpikir, berpendapat dan bertindak.
Asas juga merupakan sandaran di dalam
pembentukan Perundang-undangan diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Di dalam undang-undang tersebut asas di bagi menjadi dua, yaitu asas
Perunang-undangan dan asas materi muatan Perundang-undangan.[7]
Dalam
menyusun peraturan Perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan
pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu
mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat
ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok
asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas
formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prof.
Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto[8],
memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
a.
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku
surut (non retroaktif);
b.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex
specialis derogat lex generalis);
d.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku
belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex
posteriori derogate lex periori);
e.
Peraturan perundang-undangan tidak dapat di
ganggu gugat;
f.
Peraturan perundang-undangan sebagai sarana
untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil
bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas
welvaarstaat).
Hampir sama dengan pendapat ahli sebelumnya
Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas, sebagai berikut:[9]
a.
Asas tingkatan hirarkhi;
b.
Peraturan perundang-undangan tidak dapat di
ganggu gugat;
c.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex
generalis);
d.
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku
surut;
e.
UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex
posteriori derogat lex periori).
Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan
oleh I.C van der Vliesdi mana asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas
materil.
Asas formal mencakup:[10]
a.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke
doelstelling);
b.
Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel
van het juiste organ);
c.
Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids
beginsel);
d.
Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
uitvoorbaarheid);
e.
Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah
sebagai berkut:
a.
Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het
beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek),
b.
Asas dapat dikenali (het beginsel van de
kenbaarheid);
c.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechsgelijkheids beginsel);
d.
Asas kepastian hukum (het
rechtszekerheidsbeginsel);
e.
Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling).
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S.
Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida,[11]
yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang
patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara
hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai
bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana sebuah
negara menganut paham konstitusi.
Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi,
mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka
pembagiannya sebagai berikut :
a.
Asas–asas formal:
1.
Asas tujuan yang jelas.
2.
Asas perlunya pengaturan.
3.
Asas organ / lembaga yang tepat.
4.
Asas materi muatan yang tepat.
5.
Asas dapat dilaksanakan.
2.
Asas dapat dikenali.
b.
Asas–asas materiil:
1.
Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan
norma fundamental negara.
2.
Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3.
Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan
hukum.
4.
Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan
berdasarkan konstitusi.
Dalam Islam, prinsip-prinsip perumusan
peraturan perundang-undangan (qanun) juga telah lama diperkenalkan oleh ahli
Islam seperti Al Ghazali, Ibnu al Qayyim al Jauziyah, dan tokoh-tokoh
kontemporer lainnya. Beberapa prinsip itu antara lain:
a.
Pluralisme (al ta’addudiyyah); suatu
prinsip keanekaragaman, di mana setiap peraturan perundang-undangan yang
disusun harus menghargai, mengakomodasi keberagaman di suatu komunitas.
b.
Nasionalitas (muwathanah); spirit
nasionalisme yang melandasi bangunan bangsa Indonesia harus menjadi batu pijak
dan poros dalam perumusan kebijakan (meskipun ia berbasis pada syariat Islam).
c.
Penegakan hak asasi manusia (iqamat al huquq
al Insaniyah); menurut Imam Ghazali adalah bahwa perumusan kebijakan
dioreintasikan pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan. hak asasi
manusia juga diacu sebagai landasan perumusan materi kebijakan.
Terdapat enam hak yang dikenal dalam disiplin
Syariat Islam:
a.
Hak untuk hidup (hifdz al nafs aw al hayat)
b.
Hak kebebasan beragama (hifdz a din)
c.
Hak kebebasan berfikir (hifdz al aqli)
d.
Hak properti (hifdz al maal)
e.
Hak untuk mempertahankan nama baik (hifdz al
irdh)
f.
Hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al
nasl)
d.
Demokratis: secara prinsipil nilai-nilai Islam
berkesesuaian (compatibel) dengan nilai-nilai demokrasi. Beberapa di
antaranya:
a.
Egalitarianisme (al musawah)
b.
Kemerdekaan (al hurriyyah)
c.
Persaudaraan (al ukhuwwah)
d.
Keadilan (al adalah)
e.
Musyawarah (al syuro)
f.
Kemaslahatan (al mashlahah)
Ibnu al Qayyim al Jauziyah menyebutkan bahwa
syariat Islam itu dibangun untk mewujudkan nilai-nilai universal seperti: al
mashlahah (kemaslahatan), al adalah (keadilan), al rahmat
(kasih sayang), al hikmah (kebijaksanaan).
e.
Kesetaraan dan keadilan gender: setiap
kebijakan disusun tidak boleh membedakan setiap jenis kelamin. Ia harus
mengakomodasi dan mensetarakan gender.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli di atas, pada dasarnya menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan
perundang-undangan dibuat, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam
peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ
pembentuk, dan lain-lain. Untuk memudahkan pemahaman, di bawah ini akan
diuraikan penjelasan asas-asas itu yang dikelompokkan ke dalam 3 bagian asas
yang harus dipenuhi. Uraian berikut ini sebagian besar mengacu pada UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, dengan tambahan
dan penjelasan yang dideduksi dari uraian para ahli.
[1] Maria Farida
Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta: Kanisius,
2007, hal. 1-6.
[2] A. Hanid S.
Attamimi, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan dan pengemangan pengajarannya
di fakultas hukum,
[3] Ibid, hal.
8-9
[4] Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan
Perundang-Undangan, (Makalah tidak dipublikasikan), Jakarta, 1994
[5]Robert Baldwin & Martin Cave, Understanding Regulation:
Theory, Strategi and Practice, UK, Oxford University Press: 1999, dalam Luky
Djani, Efektivitas-Biaya dalam Pembuatan Legislasi, Jakarta: Jurnal
Hukum Jentera, Oktober 2005, h. 38
[6]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 2002, Edisi III, h.70
[7] Supardan
Modeong, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, PT Perca (Jakarta
Timur, 2005), hal. 71
[8]Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-3, h. 7-11
[9]Amiroedin
Sjarif, Peundang-undangan Dasar; Jenis dan Teknik Membuatnya, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997, h. 78-84
[10]A. Hamid S
Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara; Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I-PELITA IV, Jakarta: Disertasi
Doktor Universitas Indonesia, 1990, h. 330
[11]Maria Farida
Indrati Soeprapto, Op. Cit. h.
197