Jumat, 02 November 2012

peran & kedudukan hakim


BAB II
PEMBAHASAN

PERAN DAN KEDUDUKAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA
A.    Kemandirian dan Kebebasan Hakim
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) sebagai landasan dan falsafah negara menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.[1] Indonesia sebagai negara hukum mempunyai tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum mempunyai ciri-ciri:[2]
1)      Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2)      Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3)      Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas melalui hukum.
Mengenai Kekuasaan Kehakiman, secara mendasar telah dijelaskan pada Pasal 24 UUD NRI 1945, yang menyatakan:
1)      Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2)      Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Pasal di atas, ada beberapa hal penting berkenaan dengan Kekuasaan Kehakiman, yaitu sebagai berikut:
Kesatu, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan;
Kedua, tujuan dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan; dan
Ketiga, pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi.
Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang berwewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Pada, hakikatnya, tugas hakim untuk mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan hukum.[3] Oleh karena itu, hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini sangatlah penting, dengan tujuan untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.
Tugas terpenting seorang hakim yaitu menjatuhkan putusan terhadap kasus yang diterima dan diperiksanya. Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai kewibawaan, jika putusan tersebut merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan juga merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapat kebenaran dan keadilan. Maka, dalam putusannya hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan filosofis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berkeadilan dan berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral justice).[4]
B.     Hakim Dalam Perkembangan Zaman
1. Zaman Orde Lama
Upaya menciptakan kehakiman yang mandiri dan merdeka sudah tertulis sejak Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan. Undang-undang ini menyatakan bahwa peradilan hanya dilaksanakan oleh badan-badan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang.[5] Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang.[6] Pemegang kekuasaan pemerintahan dilarang untuk turut campur dalam urusan kehakiman, kecuali yang telah disebutkan dalam undang-undang.[7]
Namun, setelah adanya Dekret Presiden 5 Juli 1959 di masa orde lama ini, terbitlah Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang No. 19 Tahun 1948. Pada Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 ini, terdapat perubahan yang mencolok, sehingga tujuan terciptanya kehakiman yang mandiri dan merdeka menjadi terhambat.
Kehakiman yang mandiri dan merdeka merupakan cita-cita luhur sesuai dengan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD NRI 1945. Kemandirian kekuasaan kehakiman menjadi terkebiri setelah terbitnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964. Undang-Undang No. 19 tahun 1964 banyak dipengaruhi “alam revolusi” dengan “Manipol”nya yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat sosialis Indonesia.[8] Sebagaimana Pasal 19, isinya menyatakan bahwa:
Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.
Penjelasan atas Pasal 19 tersebut, berbunyi bahwa:
Pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang. Sandaran yang terutama bagi pengadilan sebagai alat Revolusi adalah Pancasila dan Manipol/Usdek. Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara yang diajukan, wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi Hukum sebagai pengayoman. Akan tetapi adakalanya, bahwa Presiden/Pemimpin Besar Revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan Negara dan Bangsa yang lebih besar.
Berdasarkan rumusan Pasal 19 tersebut dan penjelasannya maka jelaslah bahwa Presiden dapat mengintervensi segala persoalan yang terjadi di pengadilan, termasuk untuk mencampuri putusan hakim. Maka, dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada masa orde lama ini, jelaslah tidak memberikan jaminan terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman, bahkan secara tegas melanggar asas kebebasan hakim. Soekarno sebagai presiden masa orde lama memang memperlihatkan kecenderungan ke arah otoriterisme, hal ini dapat terlihat dengan berlakunya proses pemusatan kekuasaan negara pada kekuasaan presiden, dimana kekuasaan legislatif, eksekutif, legislatif berada pada satu tangan. [9]
2. Zaman Orde Baru
Setelah runtuhnya rezim orde lama pada tahun 1965, maka terjadilah pergantian pemeritahan menjadi rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Orde baru melakukan upaya pengkoreksian total terhadap kebijakan-kebijakan orde lama yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Salah satu langkah yang ditempuh, yakni melakukan pencabutan dan penggantian terhadap semua peraturan perundang-undangan yang inkonstitusional, termasuk Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, karena undang-undang tersebut tidak menjamin kebebasan kekuasaan kehakiman. Lalu, terbitlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai perundang-undangan yang memberikan pemurnian agar kekuasaan kehakiman kembali bebas dan merdeka sesuai Pasal 24 UUD NRI 1945.
Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 menyatakan, bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”.

Pada Penjelasan Pasal 1 tersebut, dijelaskan lebih lanjut bahwa:
“Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia”.
Ditegaskan pula pada Pasal 4 ayat (3), yang bunyinya, “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar”.
Penjabaran Pasal 4 ayat (3) pada Penjelasan, mengatakan:
Di sini perlu ditegaskan, bahwa agar supaya Pengadilan dapat menaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang sematamata berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.
Bagir Manan menyatakan, bahwa “ketentuan dan Penjelasan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 selain mengembalikan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sekaligus juga menjelaskan kandungan pengertian kekuasaan kehakiman yang medeka tersebut yaitu:[10]
1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial). Kebebasan ini mencakup kebebasan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Hal-hal di luar fungsi peradilan (fungsi non-yustisial) tidak termasuk kandungan pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, tidak pula serta merta berarti bahwa terhadap fungsi non-yustisial dapat dicampuri secara tanpa batas. Fungsi-fungsi non-yustisial yang bertalian erat dengan perwujudan kebebasan fungsi yustisial harus selalu mendapat perhatian yang seksama. Tata cara pengaturan atau campur tangan terhadap fungsi non-yustisial tanpa memperhatikan fungsi yustisial dapat mengurangi atau memudarkan kebebasan fungsi yustisial.
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan extra yustisial mencampuri urusan proses penyelenggaraan peradilan. Hal ini, merupakan penegasan dar bunyi penjelasan UUD 1945 yang secara umum menyebutkan “terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”. Dengan demikian, “kekuasaan pemerintah” itu tidak semata-mata kekuasaan eksekutif, tetapi juga meliputi kekuasaan lainnya, yaitu: MPR, DPR, BPK dan kekuasaan ekstra yustisial lainnya. Karena larangan hanya berlaku terhadap kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan kehakiman tertentu dimungkinkan untuk mencampuri pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman lainnya, seperti kewenangan pengadilan tinggi untuk memeriksa perkara banding, kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan pada tingkat kasasi merupakan campur tangan atas putusan yang telah diambil oleh suatu kekuasaan kehakiman yang lebih rendah tingkatannya.
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diadakan dalam rangka diselenggarakannya negara berdasarkan hukum (de rechtstaat). Dengan penegasan ini, maka kekuasaan kehakiman dimungkinkan untuk melakukan pengawasan yustisial (rechttelijk control) terhadap tindakan badan penyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahan lainnya.

3. Zaman Reformasi
Zaman reformasi dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Penegakan supremasi hukum dan penataan sistem peradilan merupakan salah satu agenda reformasi yang harus dijalankan oleh pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah pada masa reformasi yaitu melakukan amandemen terhadap UUD NRI 1945 dan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan bebas.
Perubahan pada perundang-undangan kekuasaan kehakiman, terjadi setelah diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 atas perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Perubahan pengaturan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, yaitu tersurat dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1), organisatoris, administratif dan finaciil ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan”.
Pasal 11 ayat (1) inilah yang pada kenyataannya memberikan wewenang kepada pemerintah (Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen Pertahanan) untuk memberikan kekuasaan judicial di bidang organisatoris, administratif, dan keuangan. Kemudian untuk menghindari adanya intervensi Pemerintah dalam kekuasaan kehakiman, maka pertimbangan lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, adalah:
a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang jelas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
b. bahwa pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengaturan finansial Badan-badan Peradilan yang berada di masing-masing Departemen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perlu disesuaikan dengan tuntutan perkembangan keadaan;
Selanjutnya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 ini menetapkan bahwa badan-badan peradilan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara secara organisatoris, administratif, dan financial yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan, sekarang dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Setelah itu, terjadi pergantian dengan terbitnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 ini menunjukkan adanya suatu langkah maju dari sistem peradilan, yaitu berupa pertanggungjawaban lembaga peradilan kepada masyarakat. Ketentuan yang dimaksud adalah adanya kewajiban bagi hakim untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Hal ini tercermin dalam Pasal 19 yang berbunyai sebagai berikut:
1)      Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
2)      Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan.
3)      Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman semakin disempurnakan dengan terbitnya Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Adapun hal-hal penting dalam Undang-Undang ini antara lain sebagai berikut:[11]
a)      Mereformulasi sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam Undang-Undang ini, misalnya adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
b)      Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
c)      Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi.
d)     Pengaturan mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
e)      Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
f)       Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
g)      Pengaturan umum mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan.
h)      Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 ini menjamin kekuasaan kehakiman menjadi bebas dan mandiri demi penegakan hukum yang bertujuan pada keadilan dan kebenaran, selain itu undang-undang ini mengatur lebih komprehensif mengenai seluk beluk tentang kekuasaan kehakiman.
Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh Hakim:
1)      Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berpekara secara berimbang dengan tidak memihak (impartial). Ketidak berpihakan seorang hakim terhadap pihak-pihak yang berp[erkara tidak boleh terpengaruh karena adanya hubungan keluarga, teman baik, karena pihak yang dihadapi tokoh masyarakat, ataupun ketidak berpihakan disebabkan oleh adanya tawaran-tawaran materi.
2)      Sopan dalam bertutur dan bertindak. Tindakan dan tutur kata yang sopan tidak hanya di tunjukan dalam kerangka menjalankan tugasnya osebagai hakim tetapi juga dalam hubungan dan interaksi dengan masyarakat.
3)      Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar. Hal ini akan menghindarkan hakim dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil keputusan, karena setiap persoalan yang dihadapi selalu diplajari dengan cermat dan penuh kehati-hatian.
4)      Memutus perkara berdasarkan atas hokum dan rasa keadilan. Keputusan diambil bukan karena pertimbangan suka atau tidak suka tetapi betul-betul didasarkan atas aturan hokum yang ada. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya penegakan supremasi hokum. Sedangkan rasa keadilan bahwa orang-orang yang tertindas, tidak berdaya dan selalu menjadi korban atas berbagai bentuk kesewenang-wenangan secara moral harus diperjuangkan, tanpa melihat posisi dan kedudukannya sebagai warganegara.
5)      Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan hakim. Seorang hakim harus mampu menghindari tindakan-tindakan negative yang dapat merusak citra profesi hakim di masyarakat.
Hal-hal yang tidak diperbolehkan seorang hakim dalam menjalankan profesinya yaitu:
1)      Melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.
2)      Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
3)      Membicarakn suatu perkara yang ditanganinya diluar persidangan.
4)      Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.
5)      Melecehkan sesama hakim,jaksa, penasehat hokum,para pihak berperkara, ataupun pihak lain.
6)      Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dilakukan dalam rangka pengkajian ilmiah.
7)      Menjadi anggota partai politik dan pekerjaan/jabatan yang dilarang undang-undang.
8)      Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
C.    Aliran Dalam Menemukan Hukum Oleh Hakim
Seiring perkembangan zaman, diketahui terdapat beberapa aliran menemukan hukum oleh hakim dalam memutus suatu perkara, yaitu hakim positivis atau legisme, hakim otonom/bebas (begriffsjurisprudenz), dan hakim saat sekarang/hakim progresif.[12]
1.      Hakim Legisme/Positivisme Hukum
Aliran ini muncul pada abad ke-19, karena ajaran hukum alam yang rasionalistis hampir ditinggalkan orang sama sekali, antara lain karena pengaruh dari aliran cultuur historisch school (sekolah bersejarah kebudayaan), akan tetapi, ditinggalkannya aliran hukum alam yang rasionalistis tersebut mengakibatkan semakin kuatnya aliran hukum lain yang menggantikannya, yaitu aliran positivisme hukum.[13]
legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu, yang menyatakan bahwa hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah hakim dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.[14]
2.      Hakim Otonom/Bebas
Aliran hakim ini muncul sebagai reaksi penentangan terhadap aliran legisme, yang mendewakan undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Aliran ini muncul pada awal abad ke 20, yang mengajarkan tentang kebebasan hakim (Freirechtslehre) yang berpendapat bahwa hukum lahir karena peradilan.[15] Titik tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum, undang-undang itu selalu tidak lengkap dan selalu terdapat kesenjangan di dalamnya.[16] Undang-undang sebagai buatan manusia besifat statis, dan selalu tertinggal dengan keadaan manusia yang selalu berkembang. Dalam kondisi seperti ini, undang-undang memiliki kelemahan dan kekosongan hukum karena tidak bisa mengikuti kebutuhan zaman.
3.      Hakim Progresif
Hakim progresif adalah hakim yang menganut pada aliran hukum progresif. Kata progresif berasal dari progressi yang berarti adalah kemajuan. Jadi di sini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Satjipto Raharjo dalam bukunya menyatakan, “Selain itu konsep hukum progresif tidak lepas dari konsep progresivisme, yang bertitik tolak pada pandangan kemanusiaan, bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, memiliki kasih sayang kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun cara berhukum di dalam masyarakat. [17]








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakim sebagai pejabat peradilan negara yang berwewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Pada, hakikatnya, tugas hakim untuk mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Oleh karena itu, hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini sangatlah penting, dengan tujuan untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan, untuk mengetahui lebih dalam lagi setidaknya banyak-banklah berdiskusi di dalam atau di luar kampus. semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.












DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1948.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
2008, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Sudirman, Antonius
2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rifai Ahmad
2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Jakarta: Sinar Grafika.
Wisnubroto, Al
1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia, Yogyakarta: Univ. Atmajaya
Moerad, Pontang
2005, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo
1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.
Hamzah, Andi
1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Shapta artha jaya.
Raharjo, Satjipto
2003, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Kompas.



[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
[2] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 46.
[3] Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 78.
[4] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 104
[5] Pasal 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 1948.
[6] Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 1948.
[7] Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 1948.
[8] Al. Wisnubroto, Hakim dan Peradilan di Indonesia (Yogyakarta: Univ. Atmajaya, 1997), hlm. 8
[9] Antonius Sudirman, Op.Cit., hlm. 83-84
[10] Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 157-158.
[11] Penjelasan Umum Undang-Undang No. 48 Tahun 2009.
[12] Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 42-44
[13] Pontang Moerad, Op.Cit., hlm. 164.
[14] Ahmad Rifai, Op.Cit, hlm.30.
[15] Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Op.Cit, hlm. 44.
[16] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: CV. Shapta artha jaya,1996)  hlm. 115.
[17] Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 228.