BAB II
PEMBAHASAN
PERAN DAN
KEDUDUKAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA
A.
Kemandirian dan
Kebebasan Hakim
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945)
sebagai landasan dan falsafah negara menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum.[1]
Indonesia sebagai negara hukum mempunyai tiga prinsip dasar, yaitu supremasi
hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before
the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan
hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap
negara hukum mempunyai ciri-ciri:[2]
1)
Jaminan
perlindungan hak-hak asasi manusia;
2)
Kekuasaan
kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3)
Legalitas dalam
arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam
bertindak harus berdasar atas melalui hukum.
Mengenai
Kekuasaan Kehakiman, secara mendasar telah dijelaskan pada Pasal 24 UUD NRI
1945, yang menyatakan:
1)
Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
2)
Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan
Pasal di atas, ada beberapa hal penting berkenaan dengan Kekuasaan Kehakiman,
yaitu sebagai berikut:
Kesatu,
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan peradilan;
Kedua, tujuan
dari penyelenggaran kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan; dan
Ketiga,
pelaksanaan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya, serta Mahkamah Konstitusi.
Hakim sebagai
pejabat peradilan negara yang berwewenang untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Pada, hakikatnya, tugas hakim untuk
mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan
hukum.[3]
Oleh karena itu, hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan dan
kemandirian yang dijamin oleh undang-undang. Hal ini sangatlah penting, dengan
tujuan untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan serta menjamin
hak-hak asasi manusia.
Tugas terpenting
seorang hakim yaitu menjatuhkan putusan terhadap kasus yang diterima dan
diperiksanya. Putusan hakim akan terasa begitu dihargai dan mempunyai nilai
kewibawaan, jika putusan tersebut merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat
dan juga merupakan sarana bagi masyarakat pencari keadilan untuk mendapat
kebenaran dan keadilan. Maka, dalam putusannya hakim harus mempertimbangkan
segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan filosofis, sehingga keadilan
yang ingin dicapai dapat terwujud, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan
hakim yang berkeadilan dan berorientasi pada keadilan hukum (legal justice),
keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral
justice).[4]
B.
Hakim Dalam
Perkembangan Zaman
1. Zaman Orde
Lama
Upaya
menciptakan kehakiman yang mandiri dan merdeka sudah tertulis sejak
Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Kehakiman dan Kejaksaan. Undang-undang ini menyatakan bahwa peradilan hanya
dilaksanakan oleh badan-badan kehakiman dan hanya tunduk pada undang-undang.[5]
Para hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman dan hanya tunduk pada
undang-undang.[6]
Pemegang kekuasaan pemerintahan dilarang untuk turut campur dalam urusan
kehakiman, kecuali yang telah disebutkan dalam undang-undang.[7]
Namun, setelah
adanya Dekret Presiden 5 Juli 1959 di masa orde lama ini, terbitlah
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang No. 19 Tahun 1948. Pada Undang-Undang
No. 19 Tahun 1964 ini, terdapat perubahan yang mencolok, sehingga tujuan
terciptanya kehakiman yang mandiri dan merdeka menjadi terhambat.
Kehakiman yang
mandiri dan merdeka merupakan cita-cita luhur sesuai dengan Pasal 24 dan Pasal
25 UUD NRI 1945. Kemandirian kekuasaan kehakiman menjadi terkebiri setelah
terbitnya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964. Undang-Undang No. 19 tahun 1964
banyak dipengaruhi “alam revolusi” dengan “Manipol”nya yang bertujuan untuk
menciptakan masyarakat sosialis Indonesia.[8]
Sebagaimana Pasal 19, isinya menyatakan bahwa:
Demi kepentingan revolusi, kehormatan
Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden
dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.
Penjelasan atas
Pasal 19 tersebut, berbunyi bahwa:
Pengadilan adalah tidak bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat Undang-undang.
Sandaran yang terutama bagi pengadilan sebagai alat Revolusi adalah Pancasila
dan Manipol/Usdek. Segala sesuatu yang merupakan persoalan hukum berbentuk perkara-perkara
yang diajukan, wajib diputus dengan sandaran itu dengan mengingat fungsi Hukum
sebagai pengayoman. Akan tetapi adakalanya, bahwa Presiden/Pemimpin Besar Revolusi
harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun dalam
perkara pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan
Negara dan Bangsa yang lebih besar.
Berdasarkan
rumusan Pasal 19 tersebut dan penjelasannya maka jelaslah bahwa Presiden dapat
mengintervensi segala persoalan yang terjadi di pengadilan, termasuk untuk
mencampuri putusan hakim. Maka, dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada masa orde lama ini,
jelaslah tidak memberikan jaminan terhadap kemandirian kekuasaan kehakiman,
bahkan secara tegas melanggar asas kebebasan hakim. Soekarno sebagai presiden
masa orde lama memang memperlihatkan kecenderungan ke arah otoriterisme, hal
ini dapat terlihat dengan berlakunya proses pemusatan kekuasaan negara pada
kekuasaan presiden, dimana kekuasaan legislatif, eksekutif, legislatif berada
pada satu tangan. [9]
2. Zaman Orde
Baru
Setelah
runtuhnya rezim orde lama pada tahun 1965, maka terjadilah pergantian
pemeritahan menjadi rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Orde baru
melakukan upaya pengkoreksian total terhadap kebijakan-kebijakan orde lama yang
tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Salah satu langkah yang
ditempuh, yakni melakukan pencabutan dan penggantian terhadap semua peraturan
perundang-undangan yang inkonstitusional, termasuk Undang-Undang No. 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, karena
undang-undang tersebut tidak menjamin kebebasan kekuasaan kehakiman. Lalu,
terbitlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagai perundang-undangan yang memberikan pemurnian agar
kekuasaan kehakiman kembali bebas dan merdeka sesuai Pasal 24 UUD NRI 1945.
Pasal 1
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 menyatakan, bahwa: “Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia”.
Pada Penjelasan
Pasal 1 tersebut, dijelaskan lebih lanjut bahwa:
“Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan
Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan
kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra
judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang. Kebebasan
dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas
dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta
azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan
Rakyat Indonesia”.
Ditegaskan pula
pada Pasal 4 ayat (3), yang bunyinya, “Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak-pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-undang Dasar”.
Penjabaran
Pasal 4 ayat (3) pada Penjelasan, mengatakan:
Di sini perlu
ditegaskan, bahwa agar supaya Pengadilan dapat menaikan tugasnya dengan
sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang sematamata berdasarkan
kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya
tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para
Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.
Bagir Manan menyatakan,
bahwa “ketentuan dan Penjelasan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 selain
mengembalikan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sekaligus juga menjelaskan
kandungan pengertian kekuasaan kehakiman yang medeka tersebut yaitu:[10]
1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kebebasan
dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi
yustisial). Kebebasan ini mencakup kebebasan memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara. Hal-hal di luar fungsi peradilan (fungsi non-yustisial) tidak termasuk
kandungan pengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, tidak pula serta
merta berarti bahwa terhadap fungsi non-yustisial dapat dicampuri secara tanpa
batas. Fungsi-fungsi non-yustisial yang bertalian erat dengan perwujudan
kebebasan fungsi yustisial harus selalu mendapat perhatian yang seksama. Tata
cara pengaturan atau campur tangan terhadap fungsi non-yustisial tanpa
memperhatikan fungsi yustisial dapat mengurangi atau memudarkan kebebasan
fungsi yustisial.
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung makna
larangan bagi kekuasaan extra yustisial mencampuri urusan proses
penyelenggaraan peradilan. Hal ini, merupakan penegasan dar bunyi penjelasan
UUD 1945 yang secara umum menyebutkan “terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah”. Dengan demikian, “kekuasaan pemerintah” itu tidak semata-mata
kekuasaan eksekutif, tetapi juga meliputi kekuasaan lainnya, yaitu: MPR, DPR,
BPK dan kekuasaan ekstra yustisial lainnya. Karena larangan hanya berlaku
terhadap kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan kehakiman tertentu
dimungkinkan untuk mencampuri pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman lainnya,
seperti kewenangan pengadilan tinggi untuk memeriksa perkara banding,
kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan pada tingkat kasasi
merupakan campur tangan atas putusan yang telah diambil oleh suatu kekuasaan kehakiman
yang lebih rendah tingkatannya.
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diadakan dalam rangka
diselenggarakannya negara berdasarkan hukum (de rechtstaat). Dengan
penegasan ini, maka kekuasaan kehakiman dimungkinkan untuk melakukan pengawasan
yustisial (rechttelijk control) terhadap tindakan badan penyelenggara
negara atau penyelenggara pemerintahan lainnya.
3. Zaman
Reformasi
Zaman reformasi
dimulai sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Penegakan supremasi
hukum dan penataan sistem peradilan merupakan salah satu agenda reformasi yang
harus dijalankan oleh pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah pada masa
reformasi yaitu melakukan amandemen terhadap UUD NRI 1945 dan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang mandiri dan
bebas.
Perubahan pada
perundang-undangan kekuasaan kehakiman, terjadi setelah diundangkannya
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 atas perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970.
Perubahan pengaturan yang terkandung dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, yaitu
tersurat dalam Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Badan-badan yang
melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1), organisatoris, administratif
dan finaciil ada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang
bersangkutan”.
Pasal 11 ayat
(1) inilah yang pada kenyataannya memberikan wewenang kepada pemerintah
(Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen Pertahanan) untuk
memberikan kekuasaan judicial di bidang organisatoris, administratif, dan
keuangan. Kemudian untuk menghindari adanya intervensi Pemerintah dalam
kekuasaan kehakiman, maka pertimbangan lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun
1999, adalah:
a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka dan oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri
dan terlepas dari kekuasaan pemerintah dipandang perlu melaksanakan pemisahan
yang jelas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
b. bahwa pengorganisasian, pengadministrasian, dan
pengaturan finansial Badan-badan Peradilan yang berada di masing-masing Departemen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman perlu disesuaikan dengan
tuntutan perkembangan keadaan;
Selanjutnya
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 ini menetapkan bahwa badan-badan peradilan
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara secara
organisatoris, administratif, dan financial yang semula berada di bawah kekuasaan
masing-masing departemen yang bersangkutan, sekarang dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 1999 berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Setelah itu,
terjadi pergantian dengan terbitnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 ini menunjukkan adanya
suatu langkah maju dari sistem peradilan, yaitu berupa pertanggungjawaban
lembaga peradilan kepada masyarakat. Ketentuan yang dimaksud adalah adanya
kewajiban bagi hakim untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan.
Hal ini
tercermin dalam Pasal 19 yang berbunyai sebagai berikut:
1)
Rapat
permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
2)
Dalam sidang
permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari putusan.
3)
Dalam hal
sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang
berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Perundang-undangan
tentang kekuasaan kehakiman semakin disempurnakan dengan terbitnya
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menggantikan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Adapun hal-hal penting dalam Undang-Undang ini
antara lain sebagai berikut:[11]
a)
Mereformulasi
sistematika Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
terkait dengan pengaturan secara komprehensif dalam Undang-Undang ini, misalnya
adanya bab tersendiri mengenai asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
b)
Pengaturan umum
mengenai pengawasan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
c)
Pengaturan umum
mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi.
d)
Pengaturan
mengenai pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
e)
Pengaturan
mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara dan memiliki keahlian
serta pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara.
f)
Pengaturan umum
mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
g)
Pengaturan umum
mengenai bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu dan pengaturan
mengenai pos bantuan hukum pada setiap pengadilan.
h)
Pengaturan umum
mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi.
Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 ini menjamin kekuasaan kehakiman menjadi bebas dan mandiri
demi penegakan hukum yang bertujuan pada keadilan dan kebenaran, selain itu
undang-undang ini mengatur lebih komprehensif mengenai seluk beluk tentang
kekuasaan kehakiman.
Kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
oleh Hakim:
1) Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berpekara secara berimbang
dengan tidak memihak (impartial). Ketidak berpihakan seorang hakim terhadap
pihak-pihak yang berp[erkara tidak boleh terpengaruh karena adanya hubungan
keluarga, teman baik, karena pihak yang dihadapi tokoh masyarakat, ataupun
ketidak berpihakan disebabkan oleh adanya tawaran-tawaran materi.
2) Sopan dalam bertutur dan bertindak. Tindakan dan tutur kata yang sopan
tidak hanya di tunjukan dalam kerangka menjalankan tugasnya osebagai hakim
tetapi juga dalam hubungan dan interaksi dengan masyarakat.
3) Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar. Hal ini akan menghindarkan
hakim dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil keputusan, karena setiap
persoalan yang dihadapi selalu diplajari dengan cermat dan penuh kehati-hatian.
4) Memutus perkara berdasarkan atas hokum dan rasa keadilan. Keputusan diambil
bukan karena pertimbangan suka atau tidak suka tetapi betul-betul didasarkan
atas aturan hokum yang ada. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya penegakan
supremasi hokum. Sedangkan rasa keadilan bahwa orang-orang yang tertindas,
tidak berdaya dan selalu menjadi korban atas berbagai bentuk
kesewenang-wenangan secara moral harus diperjuangkan, tanpa melihat posisi dan
kedudukannya sebagai warganegara.
5) Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan hakim. Seorang hakim harus mampu
menghindari tindakan-tindakan negative yang dapat merusak citra profesi hakim
di masyarakat.
Hal-hal yang tidak diperbolehkan
seorang hakim dalam menjalankan profesinya yaitu:
1) Melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan
dan sedang ditangani.
2) Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
3) Membicarakn suatu perkara yang ditanganinya diluar persidangan.
4) Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam
persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.
5) Melecehkan sesama hakim,jaksa, penasehat hokum,para pihak berperkara,
ataupun pihak lain.
6) Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dilakukan
dalam rangka pengkajian ilmiah.
7) Menjadi anggota partai politik dan pekerjaan/jabatan yang dilarang
undang-undang.
8) Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
C.
Aliran Dalam
Menemukan Hukum Oleh Hakim
Seiring perkembangan zaman, diketahui terdapat beberapa
aliran menemukan hukum oleh hakim dalam memutus suatu perkara, yaitu hakim
positivis atau legisme, hakim otonom/bebas (begriffsjurisprudenz), dan
hakim saat sekarang/hakim progresif.[12]
1. Hakim Legisme/Positivisme Hukum
Aliran ini muncul pada abad ke-19, karena ajaran hukum
alam yang rasionalistis hampir ditinggalkan orang sama sekali, antara lain
karena pengaruh dari aliran cultuur historisch school (sekolah bersejarah
kebudayaan), akan tetapi, ditinggalkannya aliran hukum alam yang
rasionalistis tersebut mengakibatkan semakin kuatnya aliran hukum lain yang
menggantikannya, yaitu aliran positivisme hukum.[13]
legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu,
yang menyatakan bahwa hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang
dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan
legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah hakim dan kewenangan pengadilan
hanya menerapkan undang-undang saja.[14]
2.
Hakim
Otonom/Bebas
Aliran hakim ini muncul sebagai reaksi penentangan
terhadap aliran legisme, yang mendewakan undang-undang sebagai satu-satunya
sumber hukum. Aliran ini muncul pada awal abad ke 20, yang mengajarkan tentang
kebebasan hakim (Freirechtslehre) yang berpendapat bahwa hukum lahir
karena peradilan.[15]
Titik tolak pandangan ini ialah bahwa undang-undang bukanlah satu-satunya
sumber hukum, undang-undang itu selalu tidak lengkap dan selalu terdapat
kesenjangan di dalamnya.[16]
Undang-undang sebagai buatan manusia besifat statis, dan selalu tertinggal
dengan keadaan manusia yang selalu berkembang. Dalam kondisi seperti ini,
undang-undang memiliki kelemahan dan kekosongan hukum karena tidak bisa
mengikuti kebutuhan zaman.
3.
Hakim Progresif
Hakim progresif
adalah hakim yang menganut pada aliran hukum progresif. Kata progresif berasal
dari progressi yang berarti adalah kemajuan. Jadi di sini diharapkan hukum itu
hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman
dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan
menyandar pada aspek moralitas dan sumber daya manusia penegak hukum itu
sendiri. Satjipto Raharjo dalam bukunya menyatakan, “Selain itu konsep
hukum progresif tidak lepas dari konsep progresivisme, yang bertitik tolak pada
pandangan kemanusiaan, bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, memiliki
kasih sayang kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun
cara berhukum di dalam masyarakat. [17]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakim sebagai
pejabat peradilan negara yang berwewenang untuk menerima, memeriksa, dan
memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Pada, hakikatnya, tugas hakim untuk
mengadili mengandung dua pengertian, yakni menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Oleh karena
itu, hakim dalam menjalankan tugasnya diberikan kebebasan dan kemandirian yang
dijamin oleh undang-undang. Hal ini sangatlah penting, dengan tujuan untuk
menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan serta menjamin hak-hak asasi
manusia.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun dan
kami sangat menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan,
untuk mengetahui lebih dalam lagi setidaknya banyak-banklah berdiskusi di dalam
atau di luar kampus. semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun1945.
Undang-Undang No. 19 Tahun
1948.
Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia
2008, Panduan Pemasyarakatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI.
Sudirman, Antonius
2007, Hati Nurani Hakim dan
Putusannya, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rifai Ahmad
2010, Penemuan Hukum oleh Hakim
Dalam Persfektif Hukum Progresif , Jakarta: Sinar Grafika.
Wisnubroto, Al
1997, Hakim dan Peradilan di
Indonesia, Yogyakarta: Univ. Atmajaya
Moerad, Pontang
2005, Pembentukan Hukum Melalui
Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni
Mertokusumo, Sudikno dan
Pitlo
1993, Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.
Hamzah, Andi
1996, Hukum Acara Pidana
Indonesia, Jakarta: CV. Shapta artha jaya.
Raharjo, Satjipto
2003, Membedah Hukum Progresif , Jakarta: Kompas.
[2] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 46.
[3] Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim
dan Putusannya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 78.
[4] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum
Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 104
[10] Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam
Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 157-158.
[12] Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 42-44