BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang Masalah
Jika kita berbicara filsafat, kita seakan
berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari
filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan
hukum di Indonesia. Sekedar menyinggung konsep dalam Islam, bahwa Islam menilai
hukum tidak hanya berlaku di dunia saja, akan tetapi juga di akhirat, karena
putusan kebenaran, atau ketetapan sangsi, disamping berhubungan dengan manusia
secara langsung, juga berhubungan dengan Allah SWT, maka manusia disamping ia
mengadopsi hukumhukum yang langsung (baca ; samawi dalam Islam) wahyu Tuhan
yang berbentuk kitab suci, manusia dituntut untuk selalu mencari formula
kebenaran yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, yaitu suatu hukum yang
akan mengatur perjalanan masyarakat, dan hukum tersebut haruslah digali tentang
filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang
nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia.
II.
Permasalahan
1.
Eksistensi
Tuhan terhadap hukum Islam (Al-Hakim)
2.
Kompetensi
Nabi Muhammad dalam Hukum Islam
3.
Mahkum‘Alaih
4.
Mahkum
Bih
5.
Al-Hukm
III.
Tujuan
Penulisan
Makalah dengan
judul: “al-hakim, mahkum ‘alaih, mahkum bih dan al-hukm” ini bertujuan untuk melengkapi mata kuliah Filsafat
Hukum.
IV.
Metode
Penelitian Data
Data-
data yang penulis olah menjadi makalah ini diperoleh melalui buku- buku yang
relevan.
V.
Kegunaan
Makalah
Makalah ini dapat digunakan sebagai penambah ilmu
pengetahuan dan sebagai pedoman dan mempelajari dan memahami masalah Filsafat
Hukum.
VI.
Sistematika
Penulisan
6.
Makalah
ini terdiri dari tiga bab, Bab 1 pendahuluan, terdiri dari latar belakang
masalah, permasalahan, tujuan penulisan, metode pengumpulan data, dan
sistematika penulisan. Bab II Pembahasan, Bab III Penutup terdiri dari
Kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
ASPEK-ASPEK HUKUM ISLAM
A. Al-Hakim
1. Pengertian Al-Hakim :
Secara etimologis kata “ حاكم ” berasal dari bahasa Arab yang berarti “yang
menghukum” merupakan isim fail dari kata “(حكم, يحكم, حكما)” yang berarti “memerintah, menghukum”.[1]
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hakim” berarti : “orang
yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah)” dan didalam bahasa
Inggris disebut dengan “judge”.[2]
Sedangkan secara terminologis hakim adalah
yang menetapkan hukum (dzat yang mengeluarkan hukum).
Di kalangan ulama Islam tidak ada perselisihan
pendapat mengenai, bahwasanya sumber hukum syar’iyyah bagi seluruh
orang-orang mukallaf adalah Allah SWT, baik hukumnya mengenai perbuatan
mukallaf itu telah diwahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Dia (Allah) memberi
petunjuk kepada para mujtahid untuk mengetahui hukumnya pada perbuatan mukallaf
dengan perantaraan dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyariatkannya untuk
mengistinbathkan hukum-hukumnya. Oleh karena inilah, ada kesepakatan kata
diantara mereka mengenai definisi hukum syara’ sebagai : “Khitab
Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, berupa tuntutan, atau suruhan
memilih, atau ketetapan”.[3]
Diantara prinsip mereka yang terkenal ialah :
لاحكم الا لله
artinya :
“Tidak ada hukum kecuali bagi Allah”.
ÈbÎ) …… ãNõ3ßÛø9$# wÎ) ¬! ( Èà)t ¨,ysø9$# ( uqèdur çöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ
artinya : “….. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan
sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang baik”(Q.S. 6/ Al-An’am : 57).
2. Kaitan antara Hukum Islam dan Eksistensi Tuhan
a. Pengertian Hukum Islam :
Hukum Islam adalah “seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama
Islam”.[4]
Hukum Islam mengatur prilaku manusia dalam dua
dimensi, yakni hubungan vertikal yang menyangkut antara manusia dengan Tuhan,
hubungan ini sering juga dikatakan sebagai ibadah mahdah, hubungan ini
menegaskan agar manusia sadar bahwa mereka berada dalam pengawasan Tuhan dimana
dan kapan pun, iming-iming dan ancaman dari hubungan ini adalah pahala dan
dosa. Sedangkan hubungan yang satunya adalah hubungan horizontal yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hubungan ini disebut juga mu’amalah,
yang ancaman dan ganjaran memiliki dua dimensi, dunia dan akhirat. Di akhirat,
ia akan mendapatkan pahala dan dosa, sedangkan di dunia ia akan mendapatkan
kebahagiaan dan siksaan, yang berasal dari penerapan hukum (pidana dan
perdata).[5]
b. Perbedaan Pendapat Mengenai Sesuatu yang Dipergunakan untuk Mengetahui
Hukum Allah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum Allah
atas perbuatan mukallaf, apakah akal itu mungkin dapat mengetahuinya
sendiri tanpa perantaraan para rasul Allah dan kitab-kitab Nya, atau dapatkah
ia mengetahui hukum Allah mengenai perbuatan mukallaf dengan akalnya
sendiri? Tidak ada perbedaan mengenai Hakim adalah Allah. Perbedaan pendapat
hanyalah terjadi mengenai sesuatu yang dipergunakan untuk mengetahui hukum
Allah itu.
Dalam perbedaan pendapat ini terdapat tiga
mazhab dikalangan ulama, yaitu :
1.
Mazhab Asya’riah (Ahlusunah) berpendapat bahwa suatu perbuatan dari baik
dan buruknya itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk, oleh karena akal
manusia tidak dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Baik dan
buruknya suatu perbuatan terletak pada disuruh (baik) atau dilarangnya (buruk)
perbuatan itu oleh Allah melalui wahyunya. Dengan demikian baik atau buruknya
suatu perbuatan hanya ditentukan oleh Allah dengan wahyunya, dan akal manusia
sama sekali tidak dapat mengenalnya, maka dengan sendirinya akal manusia juga
tidak dapat mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Wahyu Allah-lah
yang dapat menetapkan baik atau buruknya suatu perbuatan dan hanya wahyu pula yang
dapat menyuruh atau melarang manusia, dalam taklif, dan hanya ditetapkan oleh
Allah melalui Rasul-Nya.[6]
mazhab ini dikukuhkan oleh firman Allah :
….. 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
artinya :
“… dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang rasul”.
(Q.S. 17/ Al-Israa : 15)
2. Mazhab Mu’tazilah, yaitu para pengikut Washil bin ‘Atha’. pendapat
mazhab ini ialah bahwasanya akal dapat mengetahui hukum Allah tentang
perbuatan-perbuatan mukallaf dengan sendirinya tanpa perantaraan pada
rasul Nya dan kitab-kitab Nya. karena setiap perbuatan mukallaf itu
mempunyai sifat dan pengaruh yang bisa menjadikannya sebagai sesuatu yang
berbahaya atau sesuatu yang bermanfaat. Oleh karena itu, berdasarkan atas
sifat-sifat perbuatan dan manfaat atau bahaya yang diakibatkannya, maka akal
dapat menetapkan bahwa ia baik atau buruk. Hukum Allah SWT atas perbuatan itu
adalah sesuai dengan apa yang dapat dijangkau akal, baik berupa manfaatnya atau
bahayanya.[7]
Dasar mazhab ini yaitu bahwa perbuatan yang
baik adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal, karena ia mengandung
manfaat. Dan sebaliknya perbuatan yang buruk adalah sesuatu yang dipandang
buruk oleh akal, karena ia mengandung bahaya. Sesungguhnya hukum Allah mengenai
perbuatan-perbuatan mukallaf adalah sesuai dengan kebaikan dan keburukan
sesuatu yang dilakukan dan dapat terpikirkan oleh akal mereka.
3. Mazhab Maturidiyah, yaitu pengikut Abu Manshur Al-Maturidi. Pendapat
mazhab ini bahwasanya perbuatan-perbuatan mukallaf mengandung berbagai
kekhususan dan mempunyai pengaruh-pengaruh yang menghendaki kebaikannya atau
keburukanya, dan bahwasanya akal berdasarkan berbagai kekhususan dan pengaruh
tersebut, mampu untuk menghukumi bahwa perbuatan ini baik dan perbuatan ini
buruk. Sesuatu yang dipandang oleh akal yang sehat baik, maka ia adalah baik
dan sesuatu yang dipandang buruk oleh akal sehat, maka ia adalah buruk. Akan
tetapi hukum-hukum Allah yang pada perbuatan mukallaf tidak mesti harus sesuai
dengan kebaikan atau keburukan sesuatu yang tertangkap oleh akal kita. karena
sekalipun akal telah matang, terkadang ia juga keliru, dan karena sebahagian
dari perbuatan tidak jelas bagi akal, sehingga tidak ada saling kepastian
antara hukum-hukum Allah dan apa yang tertangkap oleh akal dan berdasarkan hal
ini, tidak ada jalan untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan perantaraan
rasul Nya.[8]
Sebenarnya perbedaan pendapat antara ulama syi’ah
dengan jumhur fuqaha tentang eksistensi akal (apakah bisa dianggap sebagai dalil atau
tidak ketika tidak ada nash) adalah berpangkal dari adanya perbedaan dalam
masalah tahsin ‘aqly (kebaikan menurut akal) dan taqbih ‘aqly
(keburukan menurut akal). Oleh karena dalam hal akidah golongan syi’ah imamiyah
menganut mazhab Mu’tazilah, maka mereka memandang akal sebagai sumber hukum
pada saat nash tidak ditemukan. Sedang jumhur fuqaha, karena tidak menganut
mazhab mu’tazilah, mereka sama sekali tidak memandang bahwa akal sebagai sumber
hukum.[9]
c. Baik dan Buruk Menurut Akal (Tahsin ‘Aqly wa Taqbih ‘Aqly)
1. Golongan Mu’tazilah, Salah seorang tokoh mereka, al-Jubai mengatakan :
“Setiap perbuatan maksiat yang jaiz bagi Allah untuk memerintahkannya,
maka nilai keburukan perbuatan itu karena adanya larangan (qabih lin-nahy).
Dan setiap pperbuatan maksiat yang wajib bagi Allah untuk tidak membolehkannya,
maka nilai keburukan itu terletak pada esensinya (qabih linafsih),
seperti halnya tidak mengenal Allah SWT, atau bahkan menyekutukan Nya. demikian
pula setiap perbuatan yang jaiz bagi Allah untuk memerintahkannya, maka
nilai kebaikan perbuatan itu karena adanya perintah (hasan lil-amri bihi).
Dan setiap perbuatan yang wajib bagi Allah untuk memerintahkannya, maka nilai
kebaikan perbuatan itu karena esensinya (hasan li-nafsihi).
Dengan ini menurut mazhab mu’tazilah, bahwa
sesuatu itu terbagi menjadi tiga bagian :
1. Sesuatu yang baik menurut dzatnya, dan Allah berhak (wajib)
memerintahkannya.
2. Sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan Allah tidak berhak memerintahkannya,
dan
3. Sesuatu yang ada diantara baik dan buruk. Bagian ini boleh (jaiz)
diperintahkan dan boleh dilarang. Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya
adalah perintah (lil-amr) dan jika dilarang maka nilai keburukannya
adalah karena larangan (lin-nahy).[10]
2. Golongan Maturidiyah, yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula oleh ulama
Hanafiah. Mereka mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial (menurut dzatnya)
ada yang baik dan ada yang buruk. Dan sesungguhnya Allah tidak akan melarang
sesuatu yang baik menurut dzatnya. Dengan demikian mereka membagi sesuatu
kepada tiga bagian pula :
1. Hasan li dzatihi (baik menurut dzatnya)
2. Qabih li dzatihi (buruk menurut dzatnya) dan
3. Sesuatu yang ada diantara keduanya dan ini tergantung pada perintah dan
larangan Allah SWT.[11]
3. Golongan Asy’ariyah, yang dipegangi oleh jumhur ulama ushul, yang berpendapat
bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara esensial) tidak ada yang baik
maupun yang buruk. Semuanya mutlak tergantung dan ditentukan oleh kehendak
Allah dalam aturan syara’. Tidak ada sesuatu pun yang membatasi kehendak
Nya. Dia adalah pencipta sesuatu dan Dia pula yang menciptakan baik dan buruk.
Oleh karena itu segala yang Dia perintahkan itulah yang baik dan segala yang
Dia larang itulah yang buruk. Tiada taklif (pembebanan) karena keputusan
akal, tetapi taklif hanya berdasar pada perintah larangan Syar’i
Allah semata.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa al-Hakim
(pembuat hukum) adalah Allah dan bahwa akal tidak dapat memberi beban hukum (taklif),
meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan dzaty serta qabih
dzaty menurut pendapat sebagian ahli fikih, yakni ulama Hanafiyah.[12]
3. Kompetensi Nabi Muhammad dalam Hukum Islam
Suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa Nabi telah
berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Qur’an yang mengandung hukum
(ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah
dipahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak
Allah. karena itu Nabi memeberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum
itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk
praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan
penjelasan dengan ucapan, perbuatan dan pengakuannya yang kemudian disebut
dengan sunnah Nabi.[13]
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
artinya :
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya (3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya) (4)”.
(Q.S. 53/ An-Najm : 3-4)
Ada ulama Yang memahami ayat ini secara umum,
bahwa semua yang diucapka Nabi dalam usahanya memberi penjelasan atas ayat
hukum atau bukan adalah atas dasar wahyu. Sedangkan ulama lain memahaminya
bahwa yang dimaksud ayat itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang diterima Nabi dan
disampaikan kepada umatnya; itulah yang disebut wahyu. Tetapi tidak semua yang
muncul dari lisan Nabi disebut wahyu.
Perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat
tersebut kemudian berkembang pada kebolehan atau kemungkinan Nabi berijtihad,
perbedaan pendapat para ulama itu adalah :
1. Jumhur, ahli ushul berpendapat bahwa Nabi mungkin dan boleh berijtihad sebagaimana
berlaku pada manusia lainnya. Mereka menguatkan pendapatnya dengan dalil :
v
Allah SWT, telah menyampaikan pesan kepada
Nabi sebagaimana juga berlaku pada hamba Nya yang lain. Allah mengemukakan
contoh dengan beberapa kejadian yang pernah terjadi dan menyuruh hamba Nya
untuk mengambil ibarat atau perhatian atas kejadian tersebut dengan Firman Nya
:
…. (#rçÉ9tFôã$$sù Í<'ré'¯»t Ì»|Áö/F{$# ÇËÈ
artinya : “….Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (Q.S. 59/ Al-Hasyr : 2)
Ayat ini menyuruh menggunakan nalar dalam
memahami kejadian dalam sejarah untuk diambil perbandingan dengan kejadian
lain. Ini maksudnya adalah ijtihad. Bila manusia disuruh secara umum untuk
berijtihad, maka Nabi sendiri lebih pantas melakukannya.[14]
2. Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama Mu’tazilah, Abu Ali al-Jubai dan anaknya
Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak boleh berijtihad dalam hukum syara’.
Alasan mereka adalah :
v
Firman Allah SWT :
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya (3). Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (4)”. (Q.S. 53/ An-Najm : 3-4)
Ayat ini menjadi dalil utama bahwa semua yang
muncul dari lisan Nabi adalah dari wahyu dan tidak ada yang di luar wahyu. Ijtihad
tidak berasal dari wahyu, karenanya tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari
ijtihadnya sendiri.[15]
3. Pendapat “jalan tengah” dari kedua pendapat diatas menyatakan bahwa Nabi
dapat saja melakukan ijtihad dalam masalah peperangan, tetapi tidak
dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan gabungan
dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa fikih/ hukum islam sudah
mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola yang sederhana sesuai dengan
kesederhanaan kondisi masyarakat Arab yang menjalankan fikih pada waktu itu. Periode
rasulullah atau periode kenabian juga disebut masa pertumbuhan, yaitu periode
pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam yang disemaikan oleh Rasulullah selama
23 tahun, yakni dari diangkatnya Muhammad sebagai rasul pada tahun 610 M sampai
wafatnya pada tahun 632 M. dalam periode ini akan dibagi menjadi 2 bagian,
yakni periode makkah yang dijalani selama 13 tahun dan periode madinah selama
kurang dari 10 tahun.[16]
B. Mahkum ‘Alaih (المحكوم عليه)
1. Pengertian
Para ulama’
ushul fiqh mengatakan bahwa yang di maksud dengan mahkum alaih adalah
seseorang yang perbuatanya di kenai khitab (tuntutan) Allah ta’ala, yang
disebut dengan mukallaf.
Secara
etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum. Dalam ushul fiqqh, istilah
mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subjek hukum). Orang mukallaf
adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baikyang berhubungan
dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hukum
mukallaf harus di pertanggungjawabkan. Apabila ia menggerjakan perintah Allah,
maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan
apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan
kewajibannya belum terpenuhi.[17]
2.
Dasar Taklif
Seorang manusia
belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk
bertindak hukum. Untuk itu, para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar
pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman, maksudnya, seseorang baru bisa
dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang
di tujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal,
seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka
tidak atau belum berakal, maka mereka di anggap tidak bias memahami taklif dari
syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, mabuk
dan lupa. Orang sedang tidur, mabuk dan lupa, tidak dikenai taklif karena
ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal).hal ini sejalan dengan sabda rasulullah:
رُفِعَ
الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan pembebanan hukum dari tiga
(jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan
orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari, Abu Daud,
al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin
abi thalib)[18]
3.
Syarat-syarat
Taklif
Para ulama’
ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bias di kenai
taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
a) Orang itu telah mampu memahami khithab syar’I
(tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara
langsung maupun melalui orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu
pekerjaan-disuruh atau dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan
larangan yang menjadi khithab syar’i. dengan demikian, orang yang tidak
mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk
melaksanakan suatu talif.
b) Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul
fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak
cakap bertindak hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak
bisa di pertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, anak kecil yang belum baligh,
belum cakap bertindak hukum dan tidak di kenakan tuntutan syara’. Orang gila
juga tidak di bebani hukum karena kecakapan bertindak hukumnya hilang. Demikian
juga orang pailit dan orang yang berada di bawah pengampuan (hajr), dalam
masalah harta, di anggap tidak cakap bertindak hukum, karena kecakapan
bertindak hukum mereka dalam masalah harta di anggap hilang.[19]
4.
Ahliyah
a.
Pengertian
Ahliyah
Dari segi
etimologi ahliyah berarti “kecakapan manangani suatu urusan”. Misalnya,
seseorang di katakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia
mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.
Secara
terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah dengan:
صِفَةٌ
يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ
تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat yang dimiliki seseorang,
yang di jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap
dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah
adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah
mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum,
seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain. Oleh
sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan telah cakap untuk menerima
tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan
bertindak hukum itu dating kepada seseorang secara evolusi melalui
tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya;tiadak
sekaligus.
b. Pembagian Ahliyah
Para ulama’
membagi ahliyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah
al-ada’.
Ø Aliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang
telah di anggap sempurna untuk
mempertanggung jawabkan seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di
anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia
melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk
menerima hak-hak dan kewajiban.
Ø Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk
menerima hak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh
kewajiban. Misalnya, apabila seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang
memiliki ahliyah al-wujud, maka yang di sebut terakhir ini telah cakap menerima
hibah tersebut. Apabila harta bendanya di rusak orang lain, maka ia dianggap
cakap untuk menerima ganti rugi. Demikian juga halnya dalam masalah harta
warisan , ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang
meninggal dunia. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada
dua bagian yaitu:
Ø Ahliyah al-wujud al-naqishah
Yaitu ketika
seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin di anggap
memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harus ia
terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat,
walau hanya untuk sesaat. Apabila ia telah lahir, maka hak-hak yang ia terima
menjadi miliknya.
Ø Ahliyah al-wujud al-kamilah
Yaitu kecakapan
menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia dinyatakan
baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status
ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan
syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat
rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik.[20]
5.
Pengertian
Awaridl Ahliyah
Yang dimaksud
awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud
manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan
berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk
diperhitumgkan oleh syara’).
Awaridl ahliyah tersebut dapat
pula dibagi kepada dua bagian:
1) Awaridl al-samawiyah, maksudnya
halangan yang datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti
gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan dengan kematian)
dan lupa.
2)
Awaridl
al-mukhtasabah, maksudna halangan yang disebabkan perbuatan manusia,
seperti mabuk, terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.[21]
C. Mahkum bih (المحكوم به )
1. Pengertian
Menurut
ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Mahkum bih adalah obyek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah Allah dalam aturan
agama islam, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, tuntutan
memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhsah, sah serta batal.
Para ulama sepakat, bahwa
seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan
terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum. Contoh:
Firman
Allah dalam surat al baqarah ayat 43
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇÍÌÈ......
“dan dirikanlah shalat,
....“
Ayat ini berkaitan dengan
perbuatan mukallaf untuk mengerjakan sholat, atau kewajiban mendirikan
sholat.
Firman
Allah dalam surat al-an’am ayat 151
...( wur (#qè=çGø)s? [øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 .... ÇÊÎÊÈ
“dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar.”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan tentang
perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh
itu hukumnya haram.
2. Perbuatan yang diatur
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi jelas
menyangkut perbuatan mukallaf; sedangkan sebagian hukum wadh’i ada yang
tidak berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti tergelincirnya
matahari untuk masuknya kewajiban shalat zuhur.
Tergelincirnya matahari itu (sebagai sebab)
adalah hukum wadh’i dan karena ia tidak menyangkut perbuatan mukallaf
maka ia tidak termasuk objek hukum.[22]
Para ahli ushul fikih menetapkan beberapa
syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu :
a. Perbuatan itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang
melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mencat langit”.
b. Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan
mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
c. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuannya untuk melakukannya.
Perbuatan yang berlaku padanya taklif ditinjau
dari segi hubungannya dengan Allah dan dengan hamba terbagi empat :[23]
a. Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tidak ada
sedikitpun hak manusia. Semua bentuk ibadah mahdhah termasuk dalam
bentuk ini. Demikian pula urusan-urusan kemasyarakatan yang bertujuan untuk
membela kepentingan masyarakat. Umpamanya jihad dan pelaksanaan hukuman zina.
b. Perbuatan yang merupakan hak hamba secara murni. yaitu tindakan yang
merupakan pembelaan terhadap kepentingan pribadi. Semuanya adalah hak hamba
secara murni. Pelanggaran terhadap hak hamba adalah aniaya. Allah tidak
menerima taubat seseorang yang melaggar hak hamba, kecuali apabila hamba yang
bersangkutan membebaskannya atau memaafkannya. Umpamanya bebasnya suami dari
kewajiban mahar karena telah dibebaskan oleh istri sebagai orang (pihak) yang
berhak atas mahar itu.
c. Perbuatan yang didalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba, tetapi hak
Allah lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan had terhadap penuduh zina (qadzaf).
d. Perbuatan yang didalamnya bergabung padanya hak Allah dan hak hamba, tetapi
hak hamba lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan kisas (qishash) atas
suatu pembunuhan.
…3 `tBur @ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß ….
Artinya: “Siapa yang terbunuh secara aniaya, maka telah kami jadikan
kekuasaan bagi walinya”(Q.S. 17/ Al-Israa : 33)
Dapat tidaknya taklif itu dilakukan
orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum.
Dalam hal ini objek hukum terbagi tiga :
a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif;
umpamanya shalat dan puasa.
b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif;
umpamanya kewajiban zakat.
c. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku
taklif; umpamanya kewajiban haji.[24]
D. Al-Hukm
1. Pengetian
(الحكم لغة) : اثبات شئ
على شئ
(وشرعا) : خطاب الله تعالى المتعلق بأفعا ل
المكلفين با لاقتضاء أوالتخيير أوالوضع[25]
Hukum adalah “menetapkan sesuatu atas sessuatu”.
Hukum syara’ menurut istilah para ahli ilmu
ushul fikih ialah : khitab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan.[26]
Contoh Firman Allah Ta’ala :
او فوا با لعقود
artinya : “Penuhilah janji”.
Ini merupakan khitab dari syar’i yang bersangkutan
dengan pemenuhan berbagai janji, dalam bentuk tuntutan untuk mengerjakannya.
÷bÎ*sù…. ÷LäêøÿÅz wr& $uKÉ)ã yrßãn «!$# xsù yy$oYã_ $yJÍkön=tã $uKÏù ôNytGøù$# …. mÎ/
artinya : “… Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya …” (Q.S. 2/ Al-Baqarah : 229)
Ayat tersebut adalah khitab Allah yang
berhubungan dengan pengambilan ganti oleh suami dari istrinya sebagai imbangan
menjatuhkan talaq kepada istri dalam bentuk pilihan melakukannya.
2. Macam-Macam Hukum
a. Hukum Taklifi
Ahli sunnah
telah meneliti secara seksama, maka mereka sepakat hukum agama yang masuk dalam
bagian taklifi adalah sebagaui berikut.
1)
Ijab
Fardhu (mewajibkan, memfardukan) yaitu hukum yang mengandung suruhan untuk dikerjakan. Dampak ijab adalah wujud dan dikerjakan yang dikenai hukum itu dinamakan wajib, artinya tuntutan Tuhan yang harus dilaksanakan orang mukallaf, apabila menggerja- kan mendapat pahala, bila ditinggalkan dapat siksa.
Fardhu (mewajibkan, memfardukan) yaitu hukum yang mengandung suruhan untuk dikerjakan. Dampak ijab adalah wujud dan dikerjakan yang dikenai hukum itu dinamakan wajib, artinya tuntutan Tuhan yang harus dilaksanakan orang mukallaf, apabila menggerja- kan mendapat pahala, bila ditinggalkan dapat siksa.
2)
Nadb (mengerjakan
supaya dikerjakan)
Yaitu hukum yang mengandung suruhan
yang tidak mesti dikerjakan.
3) Tahrim (haram)
Muharram ialah sesuatu yang dituntut oleh syar’i
untuk ditinggalkan pelaksanaannya dengan suatu tuntutan yang pasti. Sebagaimana
shigat tuntutan untuk meninggalkan itu sendiri menunjukkan bahwa hal itu
pasti.
4)
Karahah
(membencikan)
Yaitu hukum yang mengandung larangan
tetapi kita harus menjauhinya.
5)
Ibahah (kebolehan)
Yaitu hukum yang mengandung kebebasan
untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan (mubah).
b.
Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i
yaitu hukum yang menetapkan sebab, syarat atau penghalang untuk
Berlakunya suatu hukum tersebut.
Berlakunya suatu hukum tersebut.
a)
Sebab
Yang dinamakan sebab yaitu suatu yang jelas yang merupakan titik tolak atau pangkal lahirnya hukum. Contoh: perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
Firman Allah SWT “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”. (An-Nuur : 2).
Yang dinamakan sebab yaitu suatu yang jelas yang merupakan titik tolak atau pangkal lahirnya hukum. Contoh: perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
Firman Allah SWT “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”. (An-Nuur : 2).
b)
Syarat
Syarat adalah sesuatu yang diharuskan ada karena adanya hukum bergantung ke- padanya. Tidak adanya syarat mengakibatkan tidak adanya hukum. Akan tetapi dengan adanya syarat tidak mesti adanya hukum.
Syarat adalah sesuatu yang diharuskan ada karena adanya hukum bergantung ke- padanya. Tidak adanya syarat mengakibatkan tidak adanya hukum. Akan tetapi dengan adanya syarat tidak mesti adanya hukum.
Contoh : Wudhu merupakan syarat sahnya
shalat. Tidak berwudhu berarti tidak ada shalat, tetapi wudhu tidak mesti untuk
shalat.
c)
Mani’ (penghalang)
Mani’
(penghalang) adalah sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum.
Meskipun sebab telah ada dan syarat telah terpenuhi akan tetapi apabila
terdapat Mani’ (penghalang), maka hukum yang tadinya mesti berlaku menjadi
tidak berlaku.
Contoh : Apabila
seorang mempunyai kerabat dengan muwaris (orang yang mendapatkan bagian harta)
tetapi apabila berlainan agama, maka keduanya tidak berhak sa- ling mewarisi.
Sebab berlainan agama menjadi Mani’ (penghalang) mendapatkan harta peninggalan.
d) Rukhshah
Rukhshah ialah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah
dari berbagai hukum untuk maksud memberikan keringanan kepada mukallaf dalam
berbagai situasi dan kondisi khusus yang menghendaki keringanan ini.
e) Azimah
Azimah adalah hukum-hukum umum yang
disyariatkan sejak semula oleh Allah, yang tidak tertentu pada satu keadaan saja
bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus seorang mukallaf dan tidak mukallaf
lainnya.[27]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Hakim adalah yang menetapkan hukum (dzat yang
mengeluarkan hukum), dalam kepercayaan agama islam Hakim yaitu Allah Azza
wazalla.
2. Hukum Islam adalah “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama Islam”
3. Hukum syara’: “Khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf,
berupa tuntutan, atau suruhan memilih, atau ketetapan”
4. Aliran yang berbeda pendapat mengenai sesuatu yang dipergunakan untuk
mengetahui hukum Allah
-
Mazhab Asya’riah
-
Mazhab Mu’tazilah
-
Mazhab Maturidiyah
5. Mengenai Nabi berijtihad
-
Jumhur, ahli ushul berpendapat bahwa Nabi
mungkin dan boleh berijtihad sebagaimana berlaku pada manusia lainnya. dengan
dalil
-
Ulama kalam Asy’ariyah, mayoritas ulama
Mu’tazilah, Abu Ali al-Jubai dan anaknya Hasyim, berpendapat bahwa Nabi tidak
boleh berijtihad dalam hukum syara’.
-
Pendapat “jalan tengah” dari kedua pendapat
diatas menyatakan bahwa Nabi dapat saja melakukan ijtihad dalam masalah
peperangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’. Kelompok ini menggunakan
gabungan dalil-dalil yang dikemukakan dua pendapat sebelumnya.
6. Mahkum ‘Alaih
-
Ahliyatul wujub,
-
Ahliyatul ada’
-
Awaridl ahliyah
awaridl ahliyah
Yang dimaksud
awaridl ahliyah adalah gangguan/halangan yang menimpa ahliyah (yang dimaksud
manusia) baik gangguan itu menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan
berkewajiban) maupun yang menimpa ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk
diperhitumgkan oleh syara’).
7. Mahkum bih : Dalam istilah ulama ushul fikih, yang disebut mahkum bih atau
objek hukum, yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.
8. Al-Hukm
Hukum adalah “menetapkan sesuatu atas
sessuatu”.
menurut istilah para ahli ilmu ushul fikih
ialah : khitab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan.
9. Macam-Macam Hukum
c.
Hukum Taklifi
1)
Ijab (kewajiban)
2) Nadb (sunnah)
3) Tahrim (haram)
4)
Karahah (makruh)
5)
Ibahah (boleh)
6)
Hukum Wadh’i
1)
Sebab
2)
Syarat
3) Mani
4) Rukhshah
5) Azimah
SARAN
Demikianlah makalah yang dapat saya susun dan
saya sangat menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan,
untuk mengetahui lebih dalam lagi setidaknya banyak-banklah berdiskusi di dalam
atau di luar kampus. semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
bermanfaat bagi kita semua. Amiin...
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud
2010, Kamus Arab Indonesia, Jakarta:
PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah
Muda, Ahmad, A.K
2008, Kamus Inggris Indonesia-Indonesia
Inggris, GitaMedia Press
Khallaf, Wahab, Abdul
1994, Ilmu Ushul Fikih, Semarang: Dina Utama Semarang
Sopyan, Yayan
2010, Tarikh Tasyri’, Depok: Gramata
Publishing
Syarifuddin, Amir
2011, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Zahrah, Abu, Muhammad
2002, Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit
Pustaka Firdaus
Hakim, Hamid, Abdul
_____ As-sulam, Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra
Umam, Khairul
Haroen, Nasroen
1999, Ushul fiqih 1,
Bandung, logos
Karim, Syafi’I
1997, fiqih-ushul fiqih, Bandung, cv pustaka
setia
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
Jakarta PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah, 2010, h. 106.
[2] Ahmad A.K. Muda, Kamus Inggris Indonesia-Indonesia
Inggris, GitaMedia Press, 2008, Cet.Pertama, h. 343.
[3] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,
Semarang, Dina Utama Semarang, 1994, Cet. Pertama, h. 137.
[4] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’,
Depok: Gramata Publishing, 2010, h. 7.
[5] Ibid., h. 70-71.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011, Cet.Kelima, h. 414-415
[7] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit, h.
139.
[8] Ibid., h. 141.
[9] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih,
Jakarta, Penerbit Pustaka Firdaus, 2002, Cet. Ketujuh, h. 89.
[13] Amir Syarifudin, Op.Cit, h. 7
[14] Ibid., h. 9.
[15] Ibid., h. 11
[16] Sopyan, Tarikh Tasyri’, h. 14.
[17] Khairul umam, ushul fiqih 1,
Bandung, cv pustaka setia, 2000, hlm 327
[18] H. Nasroen Haroen, ushul fiqih 1, Bandung,
logos, 1999, hlm 305
[19] H.A. Syafi’I Karim, fiqih-ushul fiqih,
Bandung, cv pustaka setia, 1997, hlm 134
[20] H. Nasroen Haroen, Op cit, hlm 308
[21] H.A. Syafi’I Karim, Op cit, 136
[22] Syarifudin, Ushul Fikih, h. 417.
[23] Ibid., h. 421
[24] Ibid., h. 423
[25] Abdul Hamid Hakim, As-sulam,
Jakarta, Maktabah Sa’adiyah Putra, Juz ke 2, h. 7.
[26] Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 143
[27] Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar